Saya dan Marthina baru saja tiba di parkiran ketika seorang bapak-bapak berkepala pelontos mendadak menghampiri. Urung berbicara, Ia justru menggerak-gerakkan kan kedua tangannya, membuat gestur seakan Ia sedang membelok-belokkan setang motor. Sejurus kemudian, Ia kembali mengeluarkan gestur lainnya : membuka telapak tangan kanan dan digoyangkannya ke kanan dan ke kiri.  Saya sedikit kaget dan kebingungan, tapi untungnya Marthina bisa memahami apa yang ia maksudkan.

“Kata dia jangan di kunci setang”, ucapnya persis tepat di samping telinga saya. Saya pun segera memberinya jempol  tangan kepadanya untuk menyampaikan balasan “Oke”, walaupun sepertinya itu bukanlah sebuah gestur yang tepat.

Yap, kali ini kami mengunjungi sebuah kedai kopi yang sempat viral di linimasa instagram dan tiktok beberapa waktu lalu. Namanya Sunyi House of Coffee and Hope. Kedai kopi yang berlokasi di Jl. RS Fatmawati ini berhasil membuat saya penasaran karena keunikannya, yakni hampir semua karyawannya adalah orang-orang disabilitas. Mulai dari barista, pelayan sampai ke tukang parkir di depan yang barusan saya temui itu, hehehe.



Diksi ‘sunyi’ yang dipilih untuk penamaan kafe ini sepertinya bukan tanpa alasan. Karena tepat setelah kami masuk ke dalam ruangan, atmosfernya langsung berubah drastis. Suara-suara bising jalanan dan hawa-hawa penat lekas sirna, meninggalkan suasana yang tenang, damai dan sunyi, persis seperti namanya. Untuk dekorasi interornya sendiri lumayan simpel namun cukup nyaman dengan sejumlah tata meja dan kursi yang cukup renggang satu sama lain, tentu karena sekarang masih dalam suasana new normal.

Hal yang cukup menarik adalah disini hampir semua perabotannya didesain mudah untuk diangkat dan dipindahkan, sehingga memudahkan untuk para pengguna kursi roda. Selain itu, ada juga guiding block dan huruf braile untuk mengakomodir pengunjung yang tunanetra. Uwu sekali yah gaes.

 

Awalnya agak sedikit kikuk untuk memesan kopi disini. Karena akang-teteh baristanya hampir semuanya tuna rungu, maka otomatis kita pun harus menggunakan bahasa isyarat untuk melakukan pemesanan. Tapi tenang saja, petunjuk isyarat untuk melakukan pemesanan terpampang jelas di depan kasir kok. Cukup dengan 3 gestur sederhana yang bermakna, “saya mau pesan..” kemudian tinggal tunjuk saja menu yang diinginkan. It’s actually some kinda exciting experience!

Barista-barista disini juga ramah-ramah kok. Menghadapi kami berdua yang masih kebingungan, mereka senantiasa mencoba menjelaskan dengan tenang dan tak lupa untuk melempar senyum. Ketika kartu debit saya mendadak error menjelang pembayaran, mereka mempersilahkan saya untuk duduk saja dan membayar nanti setelah selesai makan. Kabur jangan.. kabur jangan.. kata saya dalem hati.

Okey, demi mengganti energi yang terpakai selama perjalanan Bekasi – Jakarta Selatan, maka kami pun sepakat untuk memesan sepasang kopi dan makanan. Marthina hanya memesan Kopi Susu dan French Fries, sementara saya memesan Cappucino dan Gohan Chicken Mentai. Nganu, itu tuh semacem nasi dan daging yang ditutupi dengan lapisan mozarella.

Eh, biasanya kan Marthina yang pesen menu aneh-aneh, tumben kok sekarang jadi kebalik gini ya.

Jangan lupa pakai bahasa isyarat ya

 

Sayang sekali kali ini keberuntungan tidak satu frekuensi dengan kami berdua, karena seluruh bangku sudah penuh terisi maka mau tidak mau kami pun harus merelakan heningnya semesta di ruangan dalam dan menuju ke deretan bangku diluar kafe. Agak kecewa sih, tapi its okay. Setup suasana diluar juga sebenarnya tidak kalah nyaman meskipun tidak sesunyi di ruangan dalam.

Saya dan Marthina mengambil posisi tak jauh dari pintu, tepat di samping sebuah rak besi berwarna putih estetik yang menyimpan koleksi tumbuhan artifisial dan sebuah poster alfabet Bahasa Isyarat Indonesia atau disingkat Bisindo. Sambil menunggu pesanan tiba, kami iseng-iseng mencoba mengeja nama kami masing-masing dengan menggunakan Bisindo. Hasilnya? tentu saja… awur-awuran, wkwkwk. Sepertinya saya memang harus banyak belajar.



10 menit berlalu, pesanan kami akhirnya tiba di atas meja. Sebelum pergi, sang pelayan menempelkan telapak tangannya ke dagu lalu diturunkannya perlahan untuk menyampaikan kata ‘terima kasih’ kepada kami. Saya pun segera membalas isyaratnya tersebut, lebih dari satu kami. Entah apakah itu bisa diartinya banyak terima kasih atau tidak sama sekali. Saya sotoy aja.

“Ittadakimaaaaaas”, ucap saya kepada Thina. Saya yang sudah sedari tadi menahan rasa lafar pun segera membuka Gohan Chicken Truffle yang saya pesan. Tapi ada yang sedikit ganjil. yakni menu ini tidak disajikan diatas piring, melainkan dalam sebuah wadah mika seperti yang familiar kita temukan di nasi goreng instan di Indomaret. Agak gimanaa gitu sih, tapi saat mencoba rasanya ternyata lumayan mantap juga. Ada potongan daging ayam dan crab yang cukup berlimpah disitu. Mozarellanya pun nikmat di lidah, terasa empuk dan tidak kenyal-kenyal-panjang-susah-putus seperti pada mozarella pada umumnya. Porsinya juga pas kok, ga kebanyakan dan ga terlalu sedikit.

Sementara untuk kopinyaaaa… Yah lumayan enak lah. Karena saya ini sejatinya bukan pecinta kopi, jadi saya tidak bisa banyak berkomentar. Apalagi kopi yang kita pesan juga bukan yang aneh-aneh, hanya sekedar kopi susu dan cappucino. I think there’s no such a thing to share about it.

Kebiasaan buruk saya dalam berkuliner adalah : Males ngaduk. Iya, makan bubur ga diaduk, mie ayam ga diaduk, sampe ke minum kopi juga suka maen glegek aja ga pake diaduk dulu 🙁 . Palingan nanti kalo udah ditegur sama Marthina, saya langsung ngeles, “Yaudah ntar aja diaduknya pas udah di perut, aku goyang ngebor”.

 

 

Ngomong-ngomong, keviralan kafe ini sepertinya masih belum reda sepenuhnya. Dari semenjak duduk sampai seluruh hidangan di meja habis disantap, sudah ada cukup banyak muda mudi yang berdatangan ke kafe ini. And to be honest, hal tersebut membuat kami berdua yang punya sisi introvert ini menjadi tidak nyaman.

Di samping kiri kami ada sekumpulan geng sosialita heboh yang sepertinya tidak ada henti-hentinya mengambil foto groufie. Selain berisik, mereka juga membuat kami agak risih karena terang-terangan membawa makanan dari luar kafe. Jiwa perghibahan saya dan Thina pun jadi meronta-ronta dibuatnya.

Selain geng heboh itu, di sebelah kanan saya juga ada sepasang kekasih yang sepertinya, lebih fokus untuk menyusun vlog ala-ala daripada menikmati suasana kafe itu sendiri. Melihat si cowoknya semangat untuk ambil stockshoot sekeliling kafe lalu ambil take vlog saat hidangan datang, lagi-lagi membuat insting perghibahan kami meronta-ronta untuk kedua kalinya.

Hanya beberapa menit berselang, saya perhatikan sepertinya kafe jadi semakin padat, dan beberapa pengunjung nampak kebingungan untuk mencari tempat duduk. Ada benarnya nasihat teman saya, “Jangan kunjungi tempat yang sedang viral, nanti kamu ga bisa menikmati ambience sesungguhnya”.  Dan itu pula yang kami temukan hari ini. Sejatinya kafe ini sangat cozy, keren, dan menyenangkan. Tapi sayangnya kami tidak bisa menikmati keheningan semesta yang kami dambakan itu, karena banyaknya pengunjung yang berdatangan.

Sementara kafe makin rame, waiting list pun makin berderet. Jadi kami putuskan untuk segera pulang saja, kembali ke Bekasi.
Tenang saja, kami pasti akan kembali lagi….Tapi nanti, kalo udah ga viral-viral amat, hehehe.

 

 

Sunyi House of Coffee and Hope
Jl. RS. Fatmawati Raya No.15, RT.1/RW.3, Cilandak Bar., Kec. Cilandak, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12430

 

Depok, 15 Juli 2020
Ditulis sambil memantau tumpukan stock dagangan baru di rumah