Hari kamis di akhir September kemarin adalah momentum yang sangat langka. Karena pertama kalinya, saya bertemu kembali dengan teman lama saya semasa SMK di salah satu gedung olahraga di Jakarta Timur. Ade M. Fauzan namanya. Sudah sekian minggu memang dia terus mengajak saya main bulutangkis, namun urung terlaksana karena terkendala waktu dan kesibukan masing-masing.

Ehm, lebih tepatnya saya yang sibuk sih. Sekalinya saya bisa, waktunya malah ga ketemu.

Dan yap, akhirnya hari kamis kemarin kami menemukan titik temu jua. Saya hadir sambil mengajak istri, karena ya kasian kalau ditinggal di rumah sendirian. Sementara Ade mengajak beberapa teman kerjanya di salah satu waralaba fried chicken inisial H. Tak terlalu banyak juga, hanya ada sekitar 6 orang yang terjun ke lapangan. Jadi musti siap fisik banget lah ini sih.

Untuk selanjutnya, kami bermain sekitar 2 jam dari jam 6 hingga jam 8 malam. Saya berkontribusi sebanyak 2 set pertandingan dengan hasil akhir kedua-duanya adalah… kalah, hahaha. Meski begitu saya senang, karena masih bisa mengimbangi secara fisik dan ngga ngos-ngosan lagi. Mungkin karena beberapa waktu terakhir saya ikutan main sama grup bapak-bapak yang jago dan pake itungan lama (15 poin per babak), sekalinya main pake itungan rally point jadi kerasa lebih ringan.



Setelah berjibaku dalam dua pertandingan, saya dan Ade duduk di pinggir lapangan untuk beristirahat. Seperti biasanya dalam pertemuan dengan sobat lama, kami pun mengobrolkan banyak hal dan bernostalgia. “Eh, si Ehon sama si Denis sekarang tinggal dimana?”, “Elu terakhir ketemu si Ruly kapan?”, “Gue akhir Oktober mau balik ke Kuningan, hayu lah mampir ke rumah.”, serta disambung berbagai diskusi kualitatif tentang sosok personal alias per-ghibah-an pun jadi bahan obrolan seru kami berdua hingga tiba waktunya lampu lapangan pun padam.

Satu hal yang membuat saya kepikiran adalah, ketika Ade cerita bahwa ia sebetulnya sering ngajak temen-temen sekolah untuk main atau ketemu. Tapi pada akhirnya, keterbatasan waktu, jarak, serta kesibukan masing-masing akhirnya jadi pemisah untuk hadirnya titik pertemuan. Entah kenapa, seketika saya tergerak untuk melihat kalender di smartphone. tiba-tiba saya teringat, jika hari ini kami ada di penghujung 2021; sementara kami sendiri lulus sekolah tahun 2012. Itu artinya, hari ini sudah hampir 10 tahun berlalu sejak kami lulus sekolah.

Wow, satu dekade.

Saya jadi teringat kembali salah satu film taiwan yang diperankan oleh Michelle Chen dan Ko Chen-tung (Tau lah judulnya yang ada apel-nya ya, yang filmnya rada ngeres itu). Salah satu scene di film tersebut menceritakan visualisasi bagaimana nasib teman-teman semasa sekolah setelah bertahun-tahun kelulusan. Ada yang tadinya pemaen basket keren, lulusnya jadi sales mobil. Ada yang blo’on, tapi bisa lanjut kuliah sampai S2 di luar negeri. Ada juga tadinya cupu, tapi kemudian sukses jadi komikus terkenal. Sementara si karakter utamanya, Ko Chen-tung, jadi blogger yang cukup aktif nulis cerita-cerita hidupnya.

Mendadak saya langsung de-javu kelas berat. Pertama, ini sudah 10 tahun sejak kelulusan dan ada buaaaaanyak banget perubahan dari teman-teman saya. Entah itu dari segi nasib, penampilan, serta kehidupan. Kedua, saya juga jadi blogger yang entah kenapa masih saja mencoba taat ketika orang-orang mulai beralih ke dunia vlog. Dan terakhir, saya juga udah ngerasain momen dimana mantan akhirnya menikah dengan orang lain, dan tidak meng-sedih. Persis seperti di film-nya, hahaha.




Ga kerasa, sebegitu cepatnya waktu berlalu ya. Umur saya sekarang udah 26, udah makin deket ke 30. Dulu saya suka dikatain muka boros sama temen-temen, sekarang sepertinya engga lagi. Soalnya muka sama umur udah sama. Sama-sama tua. ahahaha

Oya, ngomong-ngomong, 10 tahun berlalu, ada beberapa fenomena dan realita yang saya rasakan dan sepertinya perlu saya bagikan. Let’s scroll down.

 

 

Makin ga ada alasan buat ketemu

Kenang-kenangan camping gagal

Setahun dua tahun setelah lulus sekolah, ngajak ngumpul temen-temen sepertinya masih hal yang ga susah-susah amat. Apalagi sekarang internet dan teknologi udah maju. Tinggal speak up di grup, konfirmasi siapa aja yang datang. Lalu cusss dah kumpul-kumpul.

Tapi itu dulu, ketika semuanya masih polos, kinyis-kinyis dan ga punya beban hidup. Seiring waktu berjalan, semakin banyak pula persentase teman-teman yang membina rumah tangga. Dan seiring meningkatnya jumlah teman yang ga single lagi, saat itu juga semakin sedikit ada alasan buat kita untuk bertemu dan silaturahmi. Yang gendernya perempuan, bakalan segan untuk ketemu sama yang gender laki-laki karena ga enak sama suaminya. Pun begitu pula sebaiknya.

Apalagi kalau sudah punya anak. Duh, boro-boro mau mampir dan ngumpul, sehari-hari aja udah repot sama yang namanya ngurusin anak dan kebutuhan sehari-hari. Yah, namanya struggle hidup yak.

Dan tentu saja, seiring roda kehidupan berputar, kita akan berpindah ke tempat-tempat yang jauh antar satu sama lain. Seperti teman saya Imam, yang kerja di kementrian perhutanan dan dinas di Kalimantan. Seperti Denis, yang kini jadi anggota kepolisian di Jakarta. Atau seperti Ely, si gadis kuat yang menyelesaikan S2 nya di Kampus Ternama Yogyakarta dan akan segera jadi kepala desa di Lurangung. Ah, dimanapun kalian berada, rasa-rasanya terlampau sulit untuk mengumpulkan kalian tanpa urusan yang benar-benar urgent.

Tapi, jangankan yang beda kota. Yang masih satu kota aja kadang mau ketemu susah banget euy. Seperti saya dan Ade di awal paragraf tadi, yang baru bisa ketemu setelah sekian bulan batal terus-menerus. Diantara sekian alasan untuk ngumpul cuma ada dua yang cukup powerful. Kalau bukan undangan nikahan, ya pengumuman pemakaman.

 

 

Pamer Kesibukan, Pamer Anak, Pamer Kehidupan.

Foto tahun 2016 kalo gasalah. Kenapa saya melet ya?

10 Tahun adalah waktu yang panjang untuk menyaksikan perubahan hidup seseorang dari anak ingusan hingga jadi bapaknya seorang anak. Dulu pas awal-awal lulus, isi socmed paling banter ya pamer portfolio dan kesibukan masing-masing. Tapi sekarang, bertambah variasinya jadi foto-foto sama anak masing-masing.

Well, kita hidup di Indonesia. Sebuah negara dimana umur 20 menuju 30 adalah masa-masa horor yang penuh tekanan. Kalau kalian belum punya pasangan, maka bersiaplah dibombardir pertanyaan “Kapan nikah” oleh seantero keluarga. Yang udah nikah, akan dapet tekanan juga dengan pertanyaan “Kapan punya anak”. Udah punya anak pun, masih bakal ditanya kapan ada anak kedua, ketiga, dan seterusnya.

Kadang, di satu titik saya suka ngerasa insecure kalo ngeliat isi postingan orang lain. Ngeliat temen nikahannya mewah, langsung down, “Ya Allah, kok bisa mewah gitu ya”. Ngeliat temen bawa anak istrinya liburan ke luar pulau, langsung nge-down, “Ya Allah, kapan bisa begitu ya”. Barulah pas ketemu temen-temen yang karirnya ga sukses-sukses amat, saya ngga nge-down. Sungguh, ini adalah kebiasaan yang sangat-sangat buruk. Saya pun semakin belajar untuk berhenti melakukannya.



Everyting in life happens according to our time, our clock.

Ga ada manfaatnya membandingkan nasib kita dengan orang lain. Karena pada dasarnya, hidup kita ada di jalurnya masing-masing. Yang bahagia di depan kamera belum tentu bahagia di kenyataannya. Dan yang menderita sependengar kita, mungkin lebih bahagia dari yang kita duga. Banyak hal yang tak terduga terjadi diluar dari penglihatan kita, dan itulah kenapa di agama islam kita selalu diajari untuk bersyukur dengan apa yang kita miliki di setiap harinya.

 

 

Dari teman berbagi, jadi viewer story

Kumpulan terakhir tahun 2018, sebelum pandemi

Kalau diinget-inget lagi, masa-masa sekolah memang masa yang penuh kenangan ya. Apalagi, semasa sekolah saya di jurusan Multimedia SMK daerah Kuningan sana, tidak pernah ada istilah reshuffle atau perubahan susunan siswa di tiap kenaikan kelas. Itu artinya, saya dan teman-teman dulu benar-benar menikmati kebersamaan secara penuh selama 3 tahun lamanya.

Yang paling bikin saya terharu. Saking deketnya saya dan teman-teman kelas, dan saking sudah beberapa kali teman saya mampir atau nginep ke rumah, sampai sekarang tiap kali saya bercerita maka orang tua saya masih ingat nama-nama mereka. “Si Imam yang ganteng itu kan?”, “Oooh, si Aan mah di Kuningan ya. Dia mah emang udah tua kan ya?”. “Ooohh, Si Iteung (Fenny) teh urang kalapagunung sugan?”. Haduh, saking memorable-nya, bukan cuma kita yang inget. Tapi orang tua juga ikutan.

Tapi seperti kata pepatah, segala sesuatu itu ada masanya. Dan sayangnya, dalam waktu 10 tahun semua masa-masa kami semua memang sudah berakhir. Jangankan mau kumpul bareng, berharap grup WhatApp rame lagi aja susah. Kalaupun rame, paling sesekali aja lalu sunyi seperti biasanya. Kita yang tadinya sering ngobrol tiap hari, akhirnya cuma bisa jadi sebatas viewer story.

Well, it’s OK for me. Memang beginilah roda hidup berjalan. Selalu ada yang mendekat dan menjauh. Tapi yang penting buat saya, meski sejalan waktu tak sering bercakap. Jika ada satu momen kami bersua di jalan, kami tetap saling menyapa satu sama lain. Atau kalau perlu, berhenti sejenak untuk bertanya kabar satu sama lain.

 

 

Ngerasa asing di Kampung Halaman sendiri

Pernah ga sih, kalian pulang ke kampung kalaman sendiri, lalu mendadak bingung atau bahkan asing dengan lingkungan berada. Itulah yang saya rasakan dalam beberapa waktu terakhir ini. Setiap kali pulang ke Kuningan, orang-orang yang bisa saya temui rasanya makin sedikit saja dari waktu ke waktu. Jika beruntung, saya masih bisa bertemu teman lama yang memang tinggal di kampung seperti Aan, atau teman yang kebetulan lagi berbarengan pulang kampung. Tapi itupun, “kalo” ada momen yang pas ya.

Dulu, kalo ikut car free day saya pasti berpapasan dengan beberapa teman dalam perjalanan. Sekarang? Rasanya seperti ada di lautan manusia asing yang tak satupun saya kenali. Itulah kenapa akhirnya tanpa kita sadari, kita bertransformasi dari yang tadinya pulang buat ketemu temen-temen; jadi pulang cuma buat nemuin keluarga.

 



 

Akhir kata, semoga kita bisa terus menua.

Semakin bertambah usia, pada akhirnya circle kita akan semakin kecil, semakin mengerucut. Kita hanya akan dekat dengan teman-teman satu frekuensi atau teman-teman dengan intensitas ketemuan yang tinggi. Sisanya, ya akan tereliminasi dan berakhir menjadi viewer story. Tapi tak apa, teman tetaplah teman. Punya baju baru ga melulu harus buang baju lama kan?

Sebagai paragraf penutup, saya hanya ingin mengucap do’a sederhana. Andaikan kita semua ditakdirkan untuk bertemu dan berkumpul kembali, saya harap itu karena undangan suka cita. Bukan karena secercah berita duka.

Semoga kita semua bisa terus menua, hingga bisa bercerita banyak ke anak cucu kita kelak. Amiin.

 

 

Bonus : foto-foto lama untuk mengenang yang sudah-sudah.

Ini cover Catatan Akhir Kelas

Foto di rumah Ahmad. Sekarang rumahnya dah ga ada, hiks

 

Demikianlah tulisan hari ini ini saya selesaikan, semoga bermanfaat untuk kalian semua ya. Kalau merasa bermanfaat setelah membaca konten yang saya buat, silahkan klik tombol di bawah untuk traktir saya jajan kopi ya!

Nih buat jajan

 

Bekasi, 02 Oktober 2021
Ditulis sambil menanti adzan maghrib berkumandang ditemani segelas teh manis panas.