Makan Minum Sepuasnya Cuma 99ribu di Pochajjang!

Entah bisikan halus apalagi yang merasuk kedalam telinga Marthina kali ini. Sudah beberapa hari terakhir, ia bersemangat mengajak saya untuk melanjutkan petualangan per-kuliner-an kami ke salah satu restoran baru yang sedang hits di media sosial. Nama dari restoran ini cukup unik, sampai-sampai lidah saya terpeleset saat ingin mengucapkannya, dan ubun-ubun saya mengeluarkan kepulan asap tatkala disuruh mengingatnya. Pojank… Pokujang… Panajang… Pfffftttt… Etdah, Pochajjang!

Rasa-rasanya saya makin prihatin dengan anomali konsep branding di abad ke 21 ini. Bukannya memberi nama yang simpel, sederhana dan mudah diingat, brand-brand masa kini justru acapkali diberi nama yang begitu rumit dan susah dihafalkan. Wajar saja kalau sampai detik ini, brand kuliner yang senantiasa menancap kuat di kepala saya cuma satu : Warteg Kharisma. Murah meriah, lengkap, dan buka 24 jam. ‘Restoran’ idamanku.

Sebenarnya kali ini saya dan Marthina agak berseberangan. Bukan, bukan perkara hati. Hati kami ini satu (atjiech..), tapi dalam pergulatan masalah fisik kami berdua bertolak belakang. Thina saat ini sedang berusaha untuk menaikkan berat badannya, sementara sebaliknya saya, si pria gembul berperut prenagen ini, sedang berusaha mati-matian menurunkan berat badan. Maka tentu saja kunjungan ke resto Pochajjang dengan sistem all-you-can-eat ini bagaikan surga eden bagi Thina, sementara saya menatapnya ngilu bagaikan rumah horor tepian bekasi. “Gaes, ada Ibu-Ibu gaes..”, tiba-tiba saya terbayang suara yang tak penting itu sama sekali.

Tapi tak mengapa, karena hampir sebagian besar menu di Pochajjang adalah daging ayam dan sapi, yang tentunya merupakan sumber protein dan energi yang baik dalam pembentukan tubuh. Yang saya perlukan setelah ini adalah 100 push-up, 100 sit-up, 100 squat jump dan lari 10 kilometer setiap hari, seperti serial anime One Punch Man.

Maka di malam ke 21 di bulan Ramadhan itu, kami pun berboncengan menuju salah satu cabang Pochajjang yang berada tak jauh dari Fly Over Summarecon, persis di seberang monumen Museum Louvre versi Bekasi yang alay itu. Tak ada slot parkir khusus selain di depan restoran, sehingga saya harus bersusah payah menggeser motor-motor lain agar kebagian tempat parkir. Inilah skill spesial yang saya dapatkan semasa kuliah empat tahun di Universitas Bung Karno : memaksakan space parkir dengan geser motor sana sini. Mendiang Soekarno pasti bangga melihat kepiawaian saya.

Restoran kala itu sepertinya sedang ramai-ramainya. Ada banyak sekali muda mudi yang mengantri dan seluruh tempat duduk terisi oleh wajah-wajah murung yang nampaknya sudah cukup lelah menanti. Saya mulai panik, dan bertambah panik lagi tatkala melihat buku waiting list yang diperlihatkan penjaga restoran di depan pintu masuk. Ia menuliskan nama saya di atas setumpukan nama lain yang juga masih dalam tahap menunggu. Masih ada sepuluh hingga lima belas nama, banyak sekali.

Langit mendung disertai awan kelam pun mulai menghampiri ubun-ubun saya, menyatakan kelelahan, keputus-asaan dan kesia-siaan. Namun seberkas sinar nan kuat muncul secara mendadak, memberanguskan semua awan kelam itu. Ialah Marthina yang lantas mengucap, “Ya sudahlah, kita tunggu saja dulu sebentar. Udah tanggung sampai disini kan”. Kalimat itu tegas, kuat, dan tak terbantahkan. Maka kami pun duduk sembarang di salah satu sisi lantai restoran. Saya mencoba berfikir tenang dan jernih. Paling tidak, kami akan dilayani sebelum azan subuh berkumandang. Ya, sebuah pemikiran yang positif sekali.

Tak dianya, tak diduga, ternyata pemikiran ‘positif’ saya salah kaprah. Tak perlu menunggu berjam-jam, hanya hitungan menit, kami berdua sudah dipanggil masuk oleh penjaga resto. Sepertinya ini karena hanya kami saja yang datang berdua, sementara muda-mudi lainnya datang serombongan sehingga butuh spot meja khusus. Kami pun serasa ingin mendobrak pintu masuk saking semangatnya.

Baca Juga :  Kedai Ramen Saga, Destinasi Kuliner Favorit di Kuningan

 

Suasana di dalam restoran ternyata berbanding terbalik dengan apa yang nampak di luar. Meskipun seluruh meja penuh terisi, tapi jarak antar satu meja dengan yang lainnya cukup jauh sehingga terciptalah kesan nyaman. Segala kejenuhan dan wajah muram diluar tak menembus hingga ke dalam sini, yang ada adalah atmosfer yang cozy, tenang dan ceria.

Sejenak saya melihat pula suasana di sekeliling, dekorasi yang tersaji memang tak terlalu istimewa, namun tak terlalu sepi juga. Berbagai poster bernuansa korea ditempel secara tidak beraturan di dinding ber-aksen putih merah. Di atasnya ada semacam dekorasi tenda bernada sama dengan hiasan lampu kecil yang disusun memanjang. Petugas restoran mengenakan kaos berwarna merah cerah dan celana bahan hitam, mereka sibuk berkeliling kesana kemari sambil berkomunikasi via Handy Talky. Mirip seperti EO professional yang sedang beraksi di gedung kelurahan.

 

 

Tak lama setelah pantat kami menempel di kursi bulat oranye itu, seorang petugas segera menghampiri kami untuk menjelaskan aturan main disini. Saya menatapnya setengah serius dan tak tahan ingin berceloteh, “Mohon maaf mbak, kami kesini untuk makan. Bukan untuk main Jumanji”. Namun tentu saja pernyataan sedemikian bodoh itu urung terlontar dari mulut saya.

Jadi di restoran ini hanya ada 2 pilihan menu yang bisa kita pilih, yakni Premium Beef dan Wagyu Beef. Untuk premium beef ini terdiri dari Bulgogi, Spicy Bulgogi, Chicken BBQ, Honey Soy, Black Pepper, serta semua yang ada di pojok restoran ini. Semuanya bebas kami angkut dan konsumsi dengan catatan : tidak boleh ada sisa makanan sedikitpun. Jika ada makanan yang tersisa maka akan ditimbang dan didenda sebesar 50 ribu per 100 gram nya. Sebuah aturan yang menyebalkan namun efektif membunuh rasa serakah umat manusia yang datang kemari. Aturan tersebut membuat kami mengambil makanan secukupnya saja dan penuh dengan kehati-hatian.

Sementara untuk Wagyu Beef tidak dapat diambil sendiri melainkan harus minta tolong diambilkan ke petugasnya. Wajar karena wagyu ini daging yang berkualitas lebih baik dengan bentuk pipih pemanjang. Perlu penanganan khusus untuk mengangkutnya ke atas meja. Harganya pun sedikit lebih mahal, 129 ribu per pax nya.

Oya, durasi makannya pun dibatasi, maksimal itu 90 menit alias 1,5 jam saja per kunjungannya.

Karena saya adalah seorang ekonom sejati dan Marthina pun pasrah saja dengan apapun pilihan saya, maka kami pun memilih opsi Premium Beef yang paling murah itu. Petugas pun segera mencatat pesanan kami, menempelkan bon pesanan di meja seraya menyerahkan sebuah kompor mini. Kompor inilah yang kita gunakan untuk memasak seluruh makanan disini.

 

 

Lonceng telah berbunyi, timer sudah dihitung mundur. Kami pun segera menghampiri berbagai jenis makanan yang ada di dalam freezer. Thina mengambil daging sapi sementara saya mengambil daging ayam, segera setelahnya kami mulai menyusun semuanya diatas tungku kompor yang berdesain minimalis itu. Dan karena aturan denda menyebalkan itu masih terngiang-ngiang di kepala kami, maka kami pun kompak mengambil sedikit saja.

Selain dari seluruh menu daging yang saya sebutkan di atas, kita juga bisa mengambil chicken karage yang sudah matang sehingga tidak perlu repot-repot untuk menunggu daging masak, atau Pajeon yang tak lain adalah bihun goreng dengan sejumlah sayuran disampingnya. Kalau haus, minuman yang tersedia disini hanya Lemon tea dan Blackccurent. Bahkan air mineral pun tidak termasuk paket, jadi harus bayar terpisah jika ingin minum air mineral botolan mini  itu. Hmmm.. trik restoran nomor sekian.

 

Baca Juga :  Ramen Giant, Kedai Ramen Mantap dengan Harga Terjangkau di Puncak Bogor

 

Makan di restoran dengan konsep masak sendiri itu bisa jadi seru dan bisa jadi menyebalkan. Seru, karena kita bisa leluasa menjejalkan makanan dan mengatur tingkat kematangan dari setiap makanan yang kita pesan. Tapi juga bisa jadi menyebalkan kalau punya skill memasak yang kelewat amatiran seperti saya. Kalau Pak Ndul berkelakar bahwa Ia adalah ‘Ahlinya dari segala ahli’, maka saya adalah amatiran dari segala amatiran di depan tungku masak. Terakhir kali saya masak Popmie, saya malah menyiramkan air dingin ke wadah styrofoam itu. Jenius sekali.

Dan di restoran ini, skill amatiran saya itu pun muncul kembali, tepat di depan kekasih hati saya sendiri. Daging ayam yang belum lama ditelungkupkan saya angkut menuju dinding-dinding mulut dengan sembrono dan tanpa perhitungan sama sekali. Tentu saja ia belum matang sempurna. Akhirnya saya pun menghambur menuju ke toilet, kebodohan nomor sekian.

Sebaliknya, daging sapi yang ada malah didiamkan terlalu lama sampai menghitam, Gosong! Lagi-lagi saya pun terburu-buru mengangkatnya dan mencoba mencicipinya. Aroma hangusnya terasa sekali, tapi rasanya lebih baik ketimbang daging yang masih mentah tadi. Secara keseluruhan, saya memilih untuk mempercayakan proses masak-memasak kepada Marthina daripada harus percaya pada kebodohan saya sendiri.

 

 

Durasi sekali makan disini memang cukup panjang, yakni 1 jam 30 menit. Waktu sebanyak itu bisa kita gunakan untuk menonton film Godzilla yang penuh dengan ledakan dan segala huru-hara tidak karuan dari awal sampai akhir, atau menonton siaran ulang pertandingan Liverpool vs Barcelona dimana Messi menangis sesenggrukan karena dibantai 4-0. Tapi disini, di atas meja persegi panjang berwarna hitam kelam ini, waktu terasa beranjak lebih lambat dari biasanya.

Sesendok demi sesendok, sepotong demi sepotong daging mulai berkelana dari kerongkongan kami menuju usus dua belas jari. Tak terasa sudah empat piring daging, dua piring chicken karage dan empat gelas besar lemon tea sudah saya habiskan tanpa ampun. Makanan yang sedari tadi nampak segar menggoda mulai berubah menjadi gelap dan menyeramkan, harum daging yang renyah menggugah selera direspon bagaikan bau sampah oleh kepala kami. Inilah peringai manusia yang sudah mendekati kekenyangan.

Saya memicingkan mata ke arloji, waktu baru menunjukkan pukul 9 tepat. Masih ada waktu setengah jam lagi untuk menggerayangi seluruh makanan yang tersedia dan membawanya ke dalam perut kami. Namun sama seperti saya, Thina pun sepertinya sudah mulai mengunyah lebih lambat, nampaknya ia juga merasakan apa yang saya rasakan.

 

 

Karena perut kami sudah terasa over-capacity untuk menampung makanan baru, maka kami pun tak kuasa mengibarkan bendera putih. Sisa durasi sebanyak setengah jam itu pun kami ikhlaskan meskipun kami tau bahwa tak kan ada pengurangan harga sedikitpun hanya karena pulang lebih cepat. Kami menghampiri kasir dan segera melaksanakan pembayaran,  220 ribu adalah total nilai yang harus kami bayarkan.

Sebenarnya bisa saja kami terus menambah makanan di meja kami, namun bayang-bayang denda 50 ribu per 100 gram sisa makanan terus menghantui kami. Pulang lebih awal sepertinya merupakan pilihan yang lebih bijak.

Namun ketika kami sedang beranjak menghampiri pintu keluar, sejenak langkah kami terhenti. Mata kami berdua kompak menuju sebuah pemandangan yang mengerikan : Seorang pria bertubuh gembul mirip pemain sumo, sedang memasak bertumpuk-tumpuk daging tanpa perhitungan diatas tungku liliput itu. Kami berdua sontak terperanjat.

“Kalau tidak kena denda, maka pria ini bakalan terkena masalah asam urat di esok hari”, umpatku dalam hati.

 

 

Bekasi, 16 Juni 2019
Ditulis sambil mengangkat barbel seberat 7 kilogram.

Fajarwalker

A Man with frugal style living. Sering dikira pelit, padahal cuma males keluar duit.

More Reading

Post navigation

61 Comments

  • Bhuaa..hahahhaa ..
    Udaaah .., lupakan saja selintas di pikiran tentang rumah horror di tepian Bekasi .., nemu menu all u can eat seenak ini mah .. hayooin ajaaah 😀

    Sikat sampai tandaaaas, wwwkkk

    • Iyaaa, kalau sudah tersaji di depan mata, ya buat apa ditahan tahan lagi. Langsung saja hantam semuanya mas Himawan 😀

    • Wkwkwk beneran, aku kebetulan pas nyobain barbel yang aku beli dari tiptop. Jadi tangan kanan ngetik, tangan kiri pegang barbel.
      Sebuah totalitas dalam pekerjaan yang tidak penting sama sekali.

  • Seandainya di RM Ampera juga dibuat aturan yang sama, niscaya pemandangan harian berupa onggokan nasi dan potongan ayam yang tersisa setengah mungkin bakal hilang.

    • Benar sekali om. Orang-orang Indonesia agaknya harus dibuatkan konsep seperti ini. Karena kita ini doyan sekali buang-buang makanan.

    • Bener banget kak Meta, sebaiknya kalau mau ke restoran all you can eat, puasa dulu sehari sebelumnya, aokwokwokwok

    • Aku juga senang sekali. Cuma kita sebagai customer jadinya kurang tenang, mungkin karena sudah terbiasa buang-buang makanan ya, hehe

  • Kalau nemu restoran seperti itu saya nyerah deh. Terbiasa makan dengan tangan. Daripada malu sendiri, belum lagi saya itu sukanya porsi besar. demi menaikan berat tubuh. takut ada sisa gitu, wah jadi tekor deh.
    Saya kok belum tahu persis letaknya ya, sedangkan saya sering lewat.
    Bagus itu jika parkirnya dengan cara geser-geser kendaraan orang lain, anggap saja olah raga ringan.

    • Hehehe, sebenarnya saya juga tidak terlalu biasa makan pake sumpit, lebih enak pakai sendok. Kalau aku malah kagok kalo makan langsung pakai tangan, karena bingung mau pakai 3 jari atau 5 jari.

    • Iya Mbah Dinan, wenak tenan, cuma ga terlalu nyaman untuk romantisme karena dikejar waktu dan balik modal wkwkwk

  • Suka banget nih sama konsep all you can eat, tapi bawa temen yg cocok buat makan banyak, kalo gak ya sudahlah secara ga bisa dibawa pulang, padahal saya dah siapin taperwer dr rumah #eh

    • Ehehehe kalo mau kesini, ajak teman yang nafsu makannya paling tinggi bu. Dan lagi kalau bisa jangan sarapan dari pagi 😀

  • Kayaknya bakal seru juga ya kalau di daerah saya (Gorontalo) ada resto All you can eat.
    Dijamin, pasti langsung bangkrut! Lol xD

  • dulu di sini ada sebuah restoran yang konsepnya sama dengan pochajjang. kalau ada sisa, pelanggan haru bayar denda… tapi bukan semua makanan boleh dihabiskan walaupun pada mulanya terlalu lapar hehehe

    • Wahwah all you can eat saja sudah berat, apalagi kalau bukan all you can eat 🙁
      Apakah nama restorannya kak?

  • Dokota-kota sekarang yang dilihat bukan hanya rasa ya gan tapi juga harganya, rasa yang enak belum tentu ramai pengunjung kalau harga terlalu mahal

    • Iya benar sekali om, sama satu lagi yaitu dekorasi. Karena kebanyakan orang-orang bukan cuma suka makan, tapi juga suka nongkrong ehehe

  • Weaww… All you can eat 99 rebu… Jarang banget ini. Di tempat ane tinggal ada 1 restauran sistem all you can eat. Itu juga di hotel n bayarnya mehong.. 219 rebeng per pax dengan durasi yg sama…

      • jiaaahhh dia… minta bayarin.. wkwkwk tapi itu juga jadi salah satu angan gue. Bisa makan all you can eat dibayarin sama temen. Tapi sayang kaga ade temen yg mau bayarin, paling teh gelas.. hahaha, atau KFC kalau lagi beruntung…

        • Wkwkwkwk, iya mangkanya perlulah kita ini berusaha tenar dikit, biar dapet endorse an makanan bang hahaha

  • Pernah mampir kesitu aku sekali tapi kapok yaa karena aturannya. Jadi kalau saya pribadi kalau ke Pochajjang yaa harus dalam kondisi perut tidak terlalu lapar agar dapat santai di restoran Pochajjang.

  • Hai..hai, Mas Fajar apa kabar? Luv bingits sama tulisannya. Aku suka! Kayak baca novel, makin ke bawah makin penasaran hahaha 😀 Rasanya baru kali ini baca cerita kuliner dengan bahasa yang menyenangkan, kata2 yang unik, ga membosankan. Murce juga 220K berdua ya. 1,5 jam mah kurang ah mestinya 2 jam wkwkwkw. Lama pula masak2nya meskipun amatiran yak heuheu. Jauh sih dari Jagakarsa. Pdhal kepengen coba juga hhhhmmm… premium wagyu hhhmm

    • Alhamdulillah, makasih yaaa doakan aku istiqomah selalu kak Nurul, hehehe.

      1,5 jam itu cepet kak kalo pas udah di dalem, soalnya aku makannya cepet bangettt jadinya cepet kenyang, salahnya disitu 🙁

  • Wkk… Trus gimana ni akhirnya program dietnya…? Aku blm pernah sih, ke resto model ginian…tapi seru juga sih, buat nambah pengalaman

  • beruntung banget langsung dipanggil dalam beberapa menit, untung cuma ber 2 ya, kalo ber 5 tadi ga jadi makan, malah bentuk kpop idol dan nyanyi disana, wahahahh

    • Wkwkwk, aku kolaborasi sama satpam setempat ya, terus membentuk formasi cheerleaders. Yang satu kayang, satunya lagi salto 360 derajat. Duh imajinasiku liar sekali.

  • Mengulas sesuatu dengan bahasa yang unik kayak semacam pengalaman pribadi dalam balutan bahasa yang seakan ada nuansa sastranya, kayak kisah traveling Seno Gumira Adjidarma atau Kang Gol A Gong.
    Bagi saya konsep makan demikian bisa mengundang lebih banyak otang untuk tertarik datang, aturan yang dibuat sebenarnya baik juga karena restoran sudah punya cara agar ada margin keuntungan. Yang penting sudah bisa makan kenyang sepuasnya asal jangan rakus kebangetan kayak pemain sumo itu. Seram banget.
    Saya belum coba konsep makan all you can eat, pengen coba tetapi tetap harus memahami etiket makan, Agar tak terlihat rakus atau didenda, ha ha.
    BTW, makan sambil manggang itu bikin saya jadi ingat adegan dalam drakor. Ah, mending makan di rumah sambil manggang saja karena saya tidak bisa dan takut lakukan hal konyol di muka umum, ha ha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *