Mengenang Kembali Masa-Masa Kuliah Malam

Mengenang Kembali Masa-Masa Kuliah Malam

Khusus di tulisan kali ini, saya mau nyobain gaya penulisan yang puitis, ala-ala Mbak Nik Sukacita. Hehehehe

Hapunten pisan ya Mbak Nik, gatau kenapa kepikiran sesekali daku ingin meng-impersonate gaya tulis orang lain. Biar rada ada variasi gitu loh, ga monoton.


Entah apa yang salah dengan langit Jakarta malam ini. Tak kutemui lagi setitik pun bintang meski kepalaku menengadah di ketinggian maksimum. Mungkin sinar benderang dari galaksi nan jauh disana pun tak cukup kuat untuk menembus tebalnya polusi Ibukota yang kian tak keruan. Atau mungkin saja, ini hanya ulah awan gelap yang kelak memuntahkan deras air hujan dalam waktu dekat.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk menemukan jawaban atas pertanyaan sederhana itu.

Satu menit berselang, rintik air mulai terasa menyentuh kulit pergelangan dan wajahku. Disusul oleh serbuan deru badai hujan yang datang dengan berbondong-bondong. Memaksaku untuk berhenti, memarkirkan sepeda motorku dan berteduh sejenak tepat di bawah atap Halte Pegangsaan Timur.

Tiba-tiba kurasakan batinku bergejolak. Sayup-sayup terdengar suara hentakan lagu yang familiar bagiku, sebuah lagu yang senantiasa jadi penyemangatku kala lelah menguasai tubuh.

I can’t tell where the journey will end..
But I know where to start..


Petikan lagu dari almarhum Tim Bergling itu, seakan menyeret jiwaku pergi dari ruang sempit disela-sela hujan malam hari itu. Kucari-cari sumber suara itu, namun tak berhasil. Apa jangan-jangan musikalisasi ini hanyalah suara dalam batinku saja?

Kupalingkan kepala, lalu kusadari muasal sebabnya. Pantas saja, ternyata saat ini aku sedang berada persis di depan Kampusku tercinta : Universitas Bung Karno.

Sambil ditemani oleh alunan musik Avicii yang kian keras menghentak, jiwaku mendadak terhempas jauh. Melayang jauh, lalu terjun bebas diriku dalam lamunan yang dalam. Mengenang kembali masa-masa sulit yang melelahkan itu..

Tatkala Ambruk di Garis Start


Kuningan, Tahun 2012. Harusnya kala itu Aku sedang berjibaku dengan tumpukan dokumen, dan sekumpulan rencana yang cerah meriah. Selayaknya teman-teman sekelasku yang satu per satu mulai melangkah mengejar impiannya. Ada yang ke Yogyakarta untuk masuk kampus ternama, ada yang ke luar kota untuk membangun karirnya.

Sementara disinilah aku, terpaku di depan meja sembari menanti pelanggan yang datang. Sejenak harus kusingkirkan seluruh mimpiku, hingga kini aku terjebak di dalam sebuah studio foto dengan gaji hanya empat ratus ribu.

Sedih? Tentu saja. Tapi tak ada yang bisa kuperbuat. Paling tidak, untuk saat itu.

Kisah hidupku mirip seperti kisah-kisah klise yang pernah kalian dengar. Ayahku ditipu oleh menantunya, hingga seluruh uang pensiunannya luluh lantah tak bersisa. Menyisakan sejumput hutang yang kian menambah nestapa keadaanku.

Langit seakan runtuh menimpaku, mengandaskan segala impianku yang menggebu.

Lebih mengenaskan lagi, saat aku lulus sekolah kala itu umurku belumlah genap 17 tahun. Saat itulah aku merasa seperti semesta berniat untuk mengurungku dalam ruang tanpa gerak. Bayangkan saja, mau lanjut kuliah tak ada dananya. Mau melamar kerja pun, tak cukup umurnya.

Untungnya dari sejak dulu, aku tak pernah mau jadi sosok benalu. Terus kucari informasi demi informasi, hingga akhirnya seorang temanku mereferensikan pekerjaan di sebuah Studio Foto di Kota Kuningan. Gajinya memang kecil, namun ia tak meminta persyaratan dokumen apapun. Hanya biodata diri, dan hanya itu saja. Tak apalah, meski gaji kecil tapi setidaknya aku tak lagi membebani keluarga ku di rumah.

Sekitar 3 bulan kemudian, tibalah hari ulang tahunku. Meski tak ada satupun kado di hadapanku, tapi euforia tetap menyelubungi hatiku kala itu. Tak lain, karena saat itu KTP-ku akhirnya diterbitkan. Orang-orang mungkin melihatnya sebagai kartu biasa saja, tapi bagiku.. itu adalah tiket nan istimewa.

Tiket menuju ke tanah perantauan.

Belajar Berdiri di Kaki Sendiri

Aku tak mau berlama di kampung halaman sana. Tepat sehari setelah KTP ada di tanganku, saat itulah aku segera bergegas menuju ke Tanah Ibukota. Bersamaan dengan kehadiran ragaku, setumpuk dokumen pun telah kupersiapkan untuk mengirim lamaran kerja satu per satu.

Nasib akhirnya membawaku untuk bekerja di sebuah distributor printer di daerah Mangga Dua. Gajinya memang tak terlalu besar, tapi masih lebih baik ketimbang empat ratus ribu yang kudapatkan di kampung sana.

Baca Juga :  Saya Berhenti Pasang Iklan di Blog. Dan ini Alasannya...

Ayahku membekaliku dengan uang lima ratus ribu rupiah, yang hingga kini takkan pernah aku lupakan. Dari uang itu, tiga ratus lima puluh ribu kugunakan untuk membeli sepeda bekas di Muara Angke. Lumayan, bisa menghemat ongkos ketimbang harus naik angkot atau ojek pangkalan. Meski itu membuatku harus berangkat lebih pagi dan bermandikan peluh saat tiba di kantor.

Sementara sisa seratus lima puluh ribu, kugunakan untuk membeli hape baru. Kebetulan kala itu handphone-ku rusak, sehingga agak sulit untuk berkomunikasi. Aku ingat betul kala itu berbelanja di Mall Roxy dalam durasi yang super instan, tak sampai 10 menit aku disana. Pokoknya kutemukan hape seharga seratus lima puluh ribu, lalu langsung kubayar. Sesederhana itu.

Esok harinya, saat pertama kali kunyalakan hape itu di dalam kantor. Mendadak seluruh mata tertuju padaku.

Never never want youReally really love youMaxtron Chibi Pilihan Kita Semuaaa..”

Astagaaa.. ternyata yang kubeli ini Hape Edisi Cherybelle.

Demi Kemajuan, Kadang Butuh Kegilaan

Tebak berat badan berapa kilo?

Sekitar 3 bulanan bekerja, hasratku untuk melanjutkan pendidikan belumlah sepenuhnya reda. Malahan, keinginanku ini semakin deras dan sulit untuk dibendung lagi. Hingga akhirnya kuputuskan untuk mencari informasi secepatnya.

Aku ingat betul, kala itu kukayuh sepeda bututku dari Mangga Dua sampai ke Fly Over Senen Jaya. Tepat dibawah Flyover itu, ada kampus LP3I yang jadi singgahan pertamaku. Dengan penuh semangat, kudobrak pintu dan kulabrak meja registrasi di hadapanku. Hanya untuk mendapatkan kenyataan pahit bahwa biaya kuliah disana masihlah diluar dari Jangkauanku.

“Oh masnya kerja di Mangga dua. Tadi kesini naik apa mas, Motor?”

“Bukan, mbak.”

“Ooh.. naik Transjakarta”

“Bukan, mbak.”

“Lho, terus naik apa?”

“Naik sepeda mbak..”, jawabku santai. Sementara sayup-sayup kulihat mata mbaknya nampak membelalak. Ya memang sih, orang gila mana yang naik sepeda pulang kerja dari Mangga Dua hingga ke Senen.

Tak putus semangat, aku pun terus mencari informasi di media online. Meski berkali-kali ditampar kenyataan bahwa tak ada kampus yang masuk budget-ku, tapi pencarianku akhirnya bermuara jua tatkala teman kerjaku membawa selembaran Universitas Bung Karno.

Kubaca berulang selembaran itu, lalu kutunjukkan kepada Ayahku. Memang tak ada jurusan yang kuinginkan, tapi Ayahku menyaranku untuk masuk ke jurusan Manajemen saja. Keputusan brilian, karena kelak jurusan itu akan berevolusi jadi jurusan terfavorit.

Lagi, Ayahku mendukungku dengan memberikan sebuah motor supra tua untuk jadi akomondasiku. Sementara untuk registrasi dan uang pangkalnya, terkumpul dari sisa-sisa gaji yang kupisahkan beberapa bulan sebelumnya.

Alhamdulillah, impianku untuk berkuliah pun jadi kenyataan. Meski bukan kampus favorit dan harus ambil kelas malam, tapi tak apa. Bagiku ini sudah lebih dari cukup.

Setelah menyelesaikan registrasi dan melunasi biaya pangkal, aku pun kembali ke kesibukan dunia kerjaku. Terlalu sibuk, sampai aku lupa mempertanyakan pertanyaan sederhana seperti, ‘Kapan perkuliahan dimulai?’.

Hingga beberapa hari berlalu, Aku tiba-tiba teringat kembali dengan masa kuliahku yang entah kapan akan dimulainya. Dengan tergesa kupinjam telepon kantor untuk menelpon ke nomor kampus.

“Halo pak, saya Fajar yang baru kemarin daftar ke jurusan Manajemen. Kalau boleh tahu untuk perkuliahannya itu dimulai kapan ya?”

“Oooh.. Manajemen ya. Kalau itu sih sudah dimulai dari seminggu yang lalu mas..”

GUBRAKKK…

Keren di Luar, Rapuh di Dalam

Diambil dengan Lumia Selfie

Kuliah karyawan a.k.a kelas malam itu ternyata tak sekeren yang kubayangkan. Kenyataannya, kuliah di malam hari itu melelahkan. Setelah berjibaku dengan pekerjaan, berkelahi dengan waktu di kemacetan Jakarta, masih juga harus mengerahkan tenaga yang tersisa untuk berkonsentrasi dalam pelajaran.

Maka wajar kalau dulu dosen menjuluki kami sebagai OSIS (Otak Sisaan). Karena saking mumetnya pikiran, belajar pun butuh waktu lebih karena terkadang otak terasa blank. Tapi yaaah, mau gimana lagi. Waktu yang tersedia memang hanya ada di malam hari seperti ini.

Pernah satu momen aku ikut ujian tengah semester, dan jadwal mulainya itu tepat sepuluh menit sebelum Azan Maghrib! Jadi ketika waktu berbuka, kami semua hanya beristirahat sejenak untuk makan kurma, lalu lanjut membuka lembaran soal di depan mata. Satu kata : Ajegileeeeee…

Dosen di malam hari sejatinya tak terlalu berbeda dengan dosen di jam reguler. Tetap ada dosen yang baik, yang mata duitan, yang rada mesum, dan tentunya yang killer juga.

Di semester-semester awal, ada seorang dosen yang paling kuhindari. Anak-anak menyebutnya macan kampus, karena perangainya yang mengerikan dan tak pandang bulu. Adalah Ibu Gerdha, Dosen mata kuliah Statistika yang selalu membawa aura seram dalam setiap langkah kakinya.

Baca Juga :  10 Tahun Berlalu. Ternyata Oh Ternyata, Kita Semua Sudah Tua.

“Ya Tuhan… Apapun yang terjadi, jauhkanlah diriku dari sentuhan makhluk semenyeramkan ia. Semoga kelak yang menjadi dosen pembimbingku akan memudahkan setiap langkahku…”, titipku kepada Tuhan di sela-sela doa awal sebelum pembelajaran.

Empat tahun berselang, aku merasa seperti Tuhan mendengar jelas jawabanku. Kala kuintip pengumuman dosen pembimbing di mading kampus, kulihat nama “Ibu Nina” yang tak lain adalah salah satu dosen charming dan terfavorit di kampusku.

Ingin rasanya aku berlari dan bersorak di tengah parkiran motor, mensyukuri segala kemudahan yang akan tersaji di depan mataku.

Namun sayang, kegembiraan itu tak bertahan lama.

Seminggu berselang, aku mendapat kabar bahwa Ibu Nina mengundurkan diri dari kampus. Dan karena kondisi tersebut, maka seluruh mahasiswa yang dibimbing oleh beliau pun terpaksa digantikan ke dosen lain.

Tebak dosennya siapa?

IBU GERDHA.

Hiyaaaaaaaaaa….
Lagi-lagi semesta bercanda denganku.

Kuliah Itu Sulit. Lulus Lebih Sulit.

Salah satu hal tersulit dalam dunia perkuliahan selain belajar, adalah menyelesaikan skripsi dan lulus tepat waktu. Dan tentu ini sangat penting bagiku, karena aku tak mau jadi donatur tetap untuk kampus a.k.a mahasiswa abadi.

Satu hal yang kusadari adalah, ternyata bukan hanya tak semua orang bisa lulus tepat waktu. Lebih tepatnya lagi, tak semua orang yang kukenal di awal perkuliahan bisa lulus hingga berwisuda. Lebih dari lima puluh persennya gugur di tengah jalan. Entah karena putus kontrak, dimutasi, atau hal lain yang membuatnya tak sanggup lagi melanjutkan bangku kuliah.

Untungnya Tuhan masih banyak berbaik hati padaku. Ia senantiasa menguatkan langkahku, sehingga meskipun sempat berpindah kerja hingga 3 kali, aku masih tetap diberikan kekuatan untuk menyelesaikan studiku tepat waktu.

Tentu ada saja drama dalam perjalanannya, seperti skripsiku yang mendadak mengulang dari awal setelah masuk ke Bab IV (Iya, kalian ga salah baca. Gilak sekali ya) serta usaha untuk bertemu dosen yang acapkali berbumbu drama telenovela.

Namun semuanya kupersiapkan dengan penuh keseriusan dan tekad yang membara. Buku-buku referensi kukumpulkan, bab demi bab kukejar kembali, dan presentasi pun kusempurnakan. Sesempurna yang kubisa, sampai-sampai aku tak sadar jumlah slide presentasi skripsiku sudah lima puluh lebih.

Padahal yang lain slidenya cuma sepuluh, hahaha

Hari Kala Semuanya Ditentukan!

Tepat di hari sidang skripsi, aku berdiri dengan penuh percaya diri di depan seluruh dosen pengujiku. Pointerku bergerak seirama dengan penjelasan yang mengalir dari mulutku, membawa puluhan slide itu secara perlahan hingga semuanya selesai dalam waktu kurang dari 15 menit.

Gugup? Tentu saja. Tapi kabut kelam di ruangan itu seakan terhempas sepenuhnya, kala kulihat senyum manis dari dosen pembimbingku. Dosen sekaligus Dekan yang selama ini ditakuti oleh seluruh mahasiswa karena sifat Killer-nya, tersenyum simpul kala melihat presentasi dan penjabaranku.

“Kamu kayaknya salah masuk jurusan deh, soalnya slide kamu terlalu bagus”, ucapnya.

Ingin hatiku menjawab, “EMANG IYAAAA… SAYA KAN MAUNYA MASUK DKV”. Tapi untungnya berhasil kutahan gumaman bodoh itu.

Akhirnya semua berakhir antiklimaks. Aku bisa lulus tepat waktu, sekaligus kuhindari biaya tambahan karena keterlambatan kelulusan.

In the end, gelar S.E yang kusandang tidaklah berarti banyak. Esok hari aku akan kembali ke dunia kerjaku, dengan segala kesibukanku. Hidup akan kembali lanjut seperti biasa, dan tak ada hal yang sepenuhnya istimewa.

Tapi bagiku, gelar itu adalah simbol ketekunan dan perjuangan. Sebuah konsistensi yang tak semua orang mampu untuk mengejarnya, dan beruntungnya aku bisa menjadi salah satu yang berhasil melewatinya.

Alhamdulillah…

“Tahu bulat… Digoreng dadakan… Limaratusan… Asooooy”

Suara dari tukang tahu bulat itu mendadak membuyarkan lamunanku. Jiwaku yang sedari tadi melayang-layang ditengah rintik hujan pun kembali ke tubuh asalnya. Kuperhatikan situasi sekeliling, sepertinya jalanan sudah mulai mengering kembali.

Terlalu bahagia aku dalam lamunanku, hingga tak sadar kalau sedari tadi hujan deras telah menghentikan aktivitasnya.

Terima kasih sudah membaca tulisanku yang random ini. Sampai jumpa di tulisan berikutnya yaaa….

Sebuah quotes untuk menutup tulisan spesial edisi kali ini.

Barangkali Tuhan melihat kerapuhan dalam dirimu. Maka Ia runtuhkan dirimu, hingga di titik terendahmu. Agar kelak kau perkuat pondasimu dan belajar berdiri dengan lebih kuat lagi

(Colek Mbak Nik ah.. Gimana mbak? Udah cukup puitis ndak? ehehehe)

Bekasi, 23 Juli 2024
Ditulis selama 2 jam di Mixue sambil mesen es krim 8 ribuan


Semangat penulis kadang naik turun, jadi boleh lah support biar update terus.

Silahkan klik link dibawah
Atau bisa juga dengan cara transfer ke :

BCA : 6871338300 | DANA : 081311510225 | ShopeePay : 082110325124

Fajarwalker

A Man with frugal style living. Sering dikira pelit, padahal cuma males keluar duit.

More Reading

Post navigation

18 Comments

  • Baguuuusss bangettt ya ampuunn
    Fajaarr, di balik artikel2 kamu yg kocaknya ngga ada obeng , ternyataaaaa ada pribadi yg tumbuh dgn DNA pejuang tulen!
    BarokAllah….semogaaaa semua upaya, keringat, air mata yg kamu curahkan membuahkan perjalanan hidup yg kian awesome yaaa

    • Sebenernya aku tuh gamau ngelawak mbak. Kan ini teh ceritanya dramatis yaaak.
      Cuma gatau kenapa gatel aja pengen ngeluarin punchline, hahahaha

  • Penuh perjuangan dalam mewujudjan impian serta cita-cita untuk berkuliah. Salut banget mas Fajar. Beneran tidak patah arang dan mencari solusi the real berdiri di atas kaki sendiri.

    Toss dulu, saya pun pas awal lulus SMK tidak langsung bisa lanjut kuliah karena keterbatasan ekonomi dan adik-adik yang jarak usianya deket bangett. Jadilah tahun pertama lulus saya pun bekerja, bedanya saat itu usia saya udah pas 17 tahun tapi sayangnya tinggi badan saya tuh minimalis. Jadi tiap kali ngelamar buat kasir pastilah gugur di tinggi badan. Syukurnya bisa jadi sales, jadi tahun kedua bisa nyambi kuliah kerja dan rasanya memang super duper lelah badan serta pikiran jalanin keduanya.

    Ternyata pernah ada di masa dan posisi tersebut ngebikin diri jauh lebih tahan banting dan kuad yaaa. Semangat menginspirasi. Pasti kalau Putri anak mu sudah besar ia akan sangat salut sama sosok bapaknya yang seorang pejuang pendidikan.

    • Iya, jadi keinget quotes gini mbak : Something that doesn’t kill you, make you stronger.
      Mungkin itulah, kalau kita pernah ada di titik sulit, jadinya lebih tangguh dan tahan banting dalam menjalani hidup.

  • Mas fajaaaaar, saluuuuut banget . Ga mudah pasti kuliah malam sambil kerja. Apalagi dengan segala aral melintangnyaaa. Saluuut mas . Dan ini juga bikin kamu lebih kuat pastinya.

    Kalo soal puitisnya, udah mendekati kak nik lah. . Gapapa, yg penting bisa nangkep maknanya .

    Itu skripsi dari bab 4 diulang ke 1 gara2 ganti dosen? Buseeet dah kayak mo nangis .

    Semoga nanti ada rezeki utk bisa belajar dkv juga ya mas

  • terbaikkkkk

    sy faham bukan mudah nak belajar sambil bekerja. sebab saya peenah alaminya dan ada ketika… saya mahu surrender semua…

    tapi bila fikir sejenak, kita sudah memilih jalan ini jadi mengapa harus berhenti di tengah jalan?

    benarlah… pengalaman itu mendewasakan…

  • Membaca postingan ini bagai anti klimaks setelah melalui perjuangan yang gak bisa dibilang mudah eh antiklimaks dengan diakhiri dengan Gelar SE yang disandang tidak berarti banyak… Uhuks… Tapi emang begitu lah ya hidup 🙂

  • wah ternyata enak juga gaya penulisan barunya ini kalau pas dibaca, lanjutkan mas, hehe

    btw keren banget cerita perjuangannya, setelah baca ini saya merasa kalau perjuangan saya selama ini masih belum apa-apa, terima kasih untuk ceritanya mas 🙂

  • penutupnya cantik banget jadi terharu bacanya…
    tapi semua ceritanya bikin terharu sie mas meskipun tetep ada bumbu senyumnya tapi perjuanganmu luar biasa!!!

    untuk anak usia 17th yang mana biasanya lagi banya maunya banyak gaya tapi mas fajar bisa melalui nya dengan perjuangan gak patah semangat
    katanya perjuangan pasti tidak akan mengkhianati hasil kan mas?? semoga semakin sukses lancar selalu kedepannya aamiin

  • Terima kasih sudah menjadi pribadi yang kuat Fajar,
    Sejak pertama membaca tulisanmu aku sudah melihat ada istimewa dalam karaktermu.
    Ternyata lagi insting benar, Kau serorang PEJUANG.
    Teruslah bertarung dengan ketulusan dan segala kemudahan akan menyertaimu.

    Aku larut dalam tulisanmu dan soal gaya bahasanya mantap brooo tapi tetap karakter tulisanmu tidak lepas, lanjutkan ha ha ha

  • Wah sekali2 nulis gaya gini bagus Mas. Udah kayak cerpen bedanya ini true story.
    Trus jadi kepo itu penipu nasibnya gimana? Kasian bapak.

    Eh baru sadar gapnya jauh juga ya hahahah 2011 aku udah nikah.

  • puitisnya dapet kok mas Fajar, setitik bintang, wuihh mantull, aku waktu SMP imajinasiku kemana-mana, bikin puisi sat set dengan kata-kata sastranya. Tapi sekarang ya kudu baca buku sastra biar kosakata makin banyak, maklum blank hahaha.
    baca artikel ini, maknanya nyampe kok, lumayan ada pemanis dari biasanya

    salut sama mas fajar, sembari kerja tapi tetep semangat kuliah, ini mah kerenn. Anak muda yang punya ambisi “aku kudu iso”, aku harus bisa maksudnya hehehehe

  • Ngelawak, tapi aku lagi sensii.. jadi mau nangiiiss bacanya.
    MashaAllaa~
    Di balik kehidupan seseorang, selalu ada lapisan dan lapisannya lagi.

    Ya karakternya, ya masa lalunya dan kegembiraan yang ingin dibagikan melalui tulisan ka Fajar, SE.
    Cieee.. anak ekonomi niih.. Hehehe..

    Seneng banget yaa..
    perjuangan demi perjuangan sudah terlewati. Dan di fase saat ini, ka Fajar kubilang sersan sii.. serius tapi santai. Pasti bahagia banget ka Thina dan Putri.

  • Terharu baca perjuanganmu mas keren banget akhirnya bisa lulus kuliah di tengah pekerjaan penuh waktu.. cocok lho dikau nulis feature..coba ikut Anugerah Pewarta Astra..

  • Perjuangan yg sungguh-sungguh insya Allah akan selalu berakhir baik. Sekalipun tidak sesuai harapan, tapi yakinlah itu sesuai kebutuhan kita karena Allah tahu apa yg kita dibutuhkan. Semangat terus Mas Fajar semoga makin sukses. Amin

    • Terima kasih atas harapan serta doanya ya mbaa.
      Moga doa yang baik menyertai Mbak Dawian juga sekeluarga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *