Entah sudah yang ke berapa kalinya Saya dan Thina berkelana mengitari berbagai macam restoran di Bekasi. Mulai dari yang mainstream semacam KFC atau Solaria, hingga yang lagi hits seperti Pochajjang beberapa waktu lalu. Tak terasa, sepertinya kami mulai menemui titik jenuh juga. Ya, setelah sekian waktu, ternyata mengunjungi mall yang itu-itu saja, dengan destinasi yang cuma beda blok sedikit saja akhirnya membuat kami berdua jatuh pada jurang kebosanan jua.
Maka dari itu, dalam pertemuan kami di awal September ini, akhirnya kami putuskan untuk mencoba merencanakan petualangan perkulineran kami secara matang. Tidak asal sebut dan gaspoooll seperti sebelumya. Dalam perdiskusian antara dua insan itu, akhirnya tercetuslah sebuah ide untuk mencari cafe dengan nuansa ala-ala perpustakaan. “Aku tuh pengen ke perpus, tapi yang bisa makan minum gituu.. ada ga ya”, ucap Thina yang langsung saya sambut dengan refleks mencari informasi di Google.
Ternyata, kafe bernuansa ala-ala Library bukanlah sesuatu yang langka di Jakarta. Setidaknya, dalam pencarian singkat via smartphone di genggaman tangan itu saya menemukan berbagai artikel rekomendasi dari media-media online, salah satunya yang saya baca di IDNtimes berikut ini. Dan dari sekian banyak cafe, satu yang menyita perhatian Saya adalah The Reading Room yang berlokasi di Kemang. Soalnya, katanya sih ini cafe tuh sering dipake buat nongkrong sama artis hingga sutradara beken semacem Nadine Chandrawinata, Ernest Prakasa hingga Joko Anwar! Wew, rasa penasaran saya mendadak tumbuh dan memuncak.
Thina pun tak menunjukkan raut ragu untuk mengucap kata setuju, hingga akhirnya kami pun sepakat untuk berangkat segera menuju cafe yang berjarak sekitar 27 kilometer dari rumah Thina ini.
Lokasi dan First Impression
Tak sulit menemukan cafe yang didirikan oleh Richard Oh ini, posisinya di Jalan Kemang Timur No. 57 A-B berada persis di pinggir jalan dengan parkiran yang cukup luas. Jika berhenti tepat di depannya, kita bisa merasakan nuansa hijau yang terbentuk dari berbagai tanaman dan pot bunga yang disusun secara artistik. Kursi-kursi dan meja berbahan kayu semakin memperkuat nuansa itu.
Kami bergegas meninggalkan parkiran dan masuk ke dalam cafe. Ketika hendak membuka pintu, sejenak pandangan Saya tertuju pada sebuah tulisan peringatan yang menempel di kaca : Camera are Prohibited. “Oh My God. Yang bener aja.. masa ga boleh foto-foto sih”, seketika batin saya bergejolak kencang. Apalagi untuk kunjungan kali ini saya sudah mempersiapkan perangkat kamera andalan lengkap dengan lensa dan baterai cadangan. Masa iya sih semuanya itu harus menjadi engga guna, hiks.
Daaan.. memang benar sih, kita dilarang untuk foto-foto di dalam cafe ini. Atau lebih tepatnya, harus izin dulu untuk pemotretan pakai Kamera DSLR dan Mirrorless. Tapi kata waiternya, kalo cuma foto dari smartphone sih, katanya engga apa-apa. Jadi ya sudahlah, perangkat kamera pun saya pasrahkan untuk tetap berada di dalam tas. Jadi kali ini biarlah kamera Realme 3 yang jadi andalan saya.
Tapi lupakan sejenak masalah kamera tadi, karena begitu tubuh ini masuk di ruangan The Reading Room, atmosfer yang luar biasa berbeda dapat dengan mudah kami rasakan. Tumpukan buku yang tersusun rapi dalam rak kayu, kursi dan sofa yang diatur sedemikian rupa untuk kenyamanan membaca, disempurnakan dengan sejumlah ornamen dinding bernuansa abstrak yang memberi kesan artistik. Satu menit semenjak duduk, kami berdua sudah sepakat bahwa tempat ini adalah definisi yang teramat sempurna untuk sebuah tempat menenangkan hati.
Speaker di pojok ruangan mengalunkan lagu asing yang tak saya kenal sama sekali. Namun, saya tidak terusik sedikitpun karena dari sekian lagu yang diputar, keseluruhannya merupakan lagu slow dengan beat yang lambat dan tenang. Nampaknya hal kecil seperti playlist lagu saja sudah diatur oleh sang empunyaagar tidak mengusik atmosfer tenang yang sudah dibangun. Perfecto, gumam saya dalam hati.
Oya, kalau kalian merupakan sobat perokok, ga perlu khawatir karena tersedia smoking room di lantai 2.
Ngomongin menu
Ketika buku menu sudah berada di genggaman tangan, mendadak sebuah kata kompak dari mulut kami, meski harus setengah berbisik, “Ebuseh.. Overprice amat”. Well, sebenarnya jauh sebelum menginjakkan kaki kemari, kami sudah sedikit mengintip review-review di Google dan kata overprice merupakan salah satu yang cukup banyak digaungkan.
Mau tau kenapa?
Nih, bayangin aja. 45 ribu rupiah untuk sebuah nasi goreng porsi kecil, 50 ribu untuk Caramel Latte, 27 ribu untuk onion ring, dan 15 ribu untuk segelas es teh manis tentu saja bukanlah sebuah harga yang cukup normal dan ramah di kantong. Apalagi, Thina juga sempat berkomentar bahwa onion ring yang tersaji juga rasanya tidak senikmat yang biasa disajikan di restoran kebanyakan, meskipun tidak bisa dibilang B ajah juga.
Tapi kalau saya pribadi sih memaklumi. Karena pertama, tempat ini merupakan tempat yang didesain untuk nongkrong lama, sehingga tentu ownernya perlu mendapatkan keuntungan lebih dari setiap menu yang disajikan. Dan yang kedua, tempat ini berada di daerah Kemang, yang tentu saja bukan merupakan daerah untuk sobat-sobat misqinque. Come on, tanah disini aja harganya milyaran bruh…
Eh iya, diluar dari harga, ga usah khawatir masalah menu ya. Karena cafe ini menyediakan berbagai makanan dan minuman yang cocok untuk kawula muda dan senja. Ada makaroni panggang, pasta, es krim coklat, jus segar, sampai kopi yang rasanya tidak kalah enak dengan kedai kopi terkenal lainnya. Tapi saran kita sih, kayaknya mending ngopi aja deh dibanding makan. Soalnya baca buku dengan nasgor di depan mata itu bikin ga fokus bruh..
Ngomongin koleksi buku.
Meskipun sebenarnya koleksi buku disini cukup banyak dan memenuhi hampir seuruh rak yang ada, tapi mayoritas adalah buku-buku import alias buku berbahasa inggris. Jadi jangan harap kalian bisa menemukan buku karya Pidi Baiq, Tere Liye atau Fiersa Beshari disini. Iya, semuanya ga ada yang bahasa Indonesia.
Bahkan kalau dipandangi lebih dalam lagi, hampir sebagian besar koleksi buku disini merupakan buku dengan topik yang tepat, semisal kisah hidupnya John F Kenedy, How To Sell Property hingga Guide to Great Pregnancy. Wait, yang terakhir tadi bahas apaan ya? Hmm..
Tapi berita baiknya, buku-buku disini bisa kalian tebus dengan harga yang sangat murah : cuma 30 ribu per buku. Iyesss, di hari ketika kami berkunjung ini, The Reading Room sedang ada promo tebus buku murah, semua buku cuma 30 ribu. Dan yang paling excited tentu saja Thina, karena dia sangat menyukai novel-novel berbahasa Inggris. Berbanding terbalik dengan saya yang lebih suka baca buku bahasa Sansekerta. Huehehe, boong deng.
……………………….
Tak terasa, arloji sudah menunjukkan pukul 13.30 lewat sedikit. 2 jam sudah saya berjibaku mengejar waktu untuk menyelesaikan tulisan ini. Tak lama lagi, kami berdua harus segera angkat kaki karena kami sudah memesan tiket Gundala Putra Petir, film Jagoan Lokal karya Joko Anwar yang sedang hype di bioskop.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hari saya ucapkan permohonan maaf ya kalau ada yang kurang dari tulisan ini. Ngetiknya ekstra buru-buru euy, hehehe. Sudah dulu ya, kita berdua mau lanjut nih jalan lagi ke Lippo Mal Kemang.
So, see you later bruh..
Jakarta, 01 September 2019
Ditulis sambil memandangi tumpukan buku yang judulnya inggris semua.
Keren, harusnya lebih banyak nih cafe yang kayak gini. jadi nggak cuman untuk orang ngobrol doang, tapi juga upgrade kualitas diri.
Betul kak. Jadi bisa menikmati suasana sendiri dan penuh konsentrasi untuk bekerja / berkarya
Jadi bingung. Itu kafe ada perpustakaannya apa perpustakaan jadi kafe 🙂
Duh jadi syahdu bener yah
Ini konsepnya kafe kak, cuma dibikin ala-ala perpus gitu, hehehe. Udah jarang banget nih konsep konsep kayak gini 🙁
Waaaa konsepnya bagus dan beda banget kak. Tempat nongkrong yang asyik buat makan sekaligus baca2 berbagai macam buku. Ya, meski bahasa Inggris pakainya tapi konsep awalnya udah antimainstream bgt. Suka saya 😀
Betul kak, mayoritas memang buku disini bahasa inggris. Tapi ga masalah sih, soalnya venue nya asik.
Bah! Murahnya 30ribu…. Di toko-toko buku bekas aja, yang terkurasi, harga paperback 70ribu aja udah murah. 😀
Kalau ke sana cuma beli buku boleh nggak tuh ya? Hahaha
Boleh boleh aja ehehehe. Tapi gatau kak masih ada apa ngga promonyaa
Kafe kayak gini memang unik. Kalau di perpustakaan biasanya dilarang makan dan minum, di sini malah boleh hehe. Di Palembang ada beberapa kafe berkonsep serupa, tapi buku-bukunya masih sekadar “hiasan” bukan jadi jualanan utamanya 🙂
Iyaaa, sejauh ini cuma the reading room yang bener-bener jualan reading space mas. Sisanya hanya sekedar pemanis buatan saja.
Mungkin karena memang niche nya sempit kali ya. Di depok, salah satu resto yang konsepnya begini malah bangkrut, hilang tak berbekas. hiks.