“Jareee, kita puncak monas yuk.. Mumpung formasi lengkap nih. Pak Herman juga pas lagi ada.”
Saya yang mendengar kata-kata spontan (uhuy) dari Mbak Yanti itu hanya terdiam sejenak, sembari mengatur kemiringan laptop di depan meja. Bukan apa-apa, saya baru banget sampai di kantor Grha Pertamina Ballroom. Pantat saya aja belum ada semenit nemplok di kursi, eeeh tau-tau udah dapet ajakan buat jalan keluar kantor lagi. Ke monas pulak.
“Ayo lah, kan kita ga jadi nih ngetrip ke Bromo. Yowis ke Monas ajalah kita jadiin”, lanjut Mbak Yanti.
Pak Herman pun merespon positif ajakan tersebut, “Yaudah sekalian bikin konten lah Jar, sesekali kan kita bikin kontennya diluar. Ga di dalem gedung mulu”.
Saya pun mengangguk setuju, sembari memindahkan kamera Fujifilm saya dari ransel ke dalam tas selempang. Emang nih ya… kalo yang namanya trip dadakan kayak tahu bulet, itu yang malahan jadi. Yang direncanain mah dari zaman fir’aun berak di kloset ampe zaman Gempi naek Haji juga teteup, gak bakalan jadi.
Singkat cerita. Di tengah terik matahari yang menghunus ke kulit kepala itu, kami bertiga pun berjalan kaki meninggalkan kantor. Menyebrangi jalan raya untuk masuk ke dalam Stasiun Gambir, kemudian masuk ke dalam pelataran Monas. Tadinya kami sempat berencana untuk makan dulu, tapi akhirnya batal karena mempertimbangkan waktu yang sudah merapat ke jam 2. Takut ga keburu.
Untungnya gedung Grha Pertamina ini posisinya emang deket banget dari monas, persis sebelah-sebelahan. Makanya tak sampai lima menit berselang, kami bertiga sudah berada tepat di area dalam Monumen Nasional.
Pak Herman sama Mbak Yanti langsung request, minta difotoin pake latar Monas yang menjuang tinggi. Yowis, langsung saya jeprat-jepret sembari menahan mata dari serangan sinar matahari yang berasa dikloning jadi sepuluh.
Satu hal yang kami ga prediksi adalah, ternyata dari parkiran sampe ke pintu monas tuh lumayan jauuuuuh. Manalah kita beneran clueless banget disana tuh, gatau mau masuk ke dalem monasnya lewat mana.
Untungnya setelah berjalan kaki tak tentu arah selama beberapa menit, petunjuk pun akhirnya hadir di hadapan kami. Seorang petugas kebersihan, sedang berjalan tak jauh dari posisi kami berada sekarang. Saya pun langsung lari tunggang langgang, menghampiri beliau dan bertanya dimanakah gerangan pintu masuk menuju ke monas.
“Ooooh.. itu ke arah sana, ada patung kuda. Sampingnya ada pintu masuk”, jawabnya seraya menunjuk ke sebuah arah nan jauh di mata.
Buseeeeet… Masih sonoan lagi ternyata.
Pengalaman Pertama Setelah Sekian Lama
Jujur agak malu sih. Sebagai warga negara Indonesia yang sudah bertahun-tahun merantau di Jakarta, saya belum pernah sekalipun kesampean untuk naik ke puncak monas. Kemana aja weyyy..
Mangkanya, kala bersua kembali dengan Ikon Kota Jakarta ini, saya langsung merasa takjub tak kepayang. Momumen yang jadi simbol kemerdekaan kita dari Bangsa Penjajah ini, berdiri dengan gagah di tengah-tengah jantung kota metropolitan. Bangunan setinggi 132 meter ini seakan dengan penuh gairah, memamerkan lidah apinya yang dilapisi oleh emas seberat 50 Kg.
Istimewanya lagi, Di lahan seluas 80 hektar ini, tak satupun ada pedagang asongan yang bisa ditemui. Nampaknya kawasan Monas sekarang sudah sepenuhnya steril, tak lagi ada main kucing-kucingan seperti sepuluh tahun lalu.
Tak terasa, setelah berjibaku melawan pegal di kaki serta keringat yang mulai mengalir deras, akhirnya kami pun tiba di depan pintu masuk. Security yang berjaga segera mengarahkan kami untuk menuruni tangga, lalu belok kanan ke arah loket masuk.
Biaya Masuk & Jam Operasional
Area di bawah tanah ini ternyata tak sesepi yang kami perkirakan. Tepat ketika kami tiba di depan loket, sudah ada beberapa orang yang mengantri untuk membeli tiket masuk. Mbak Yanti pun langsung ambil posisi, sementara saya yang mulai dehidrasi mencari sumber air tuk diminum.
Untungnya, tak jauh dari loket masuk ternyata ada vending machine. Saya langsung sat set memesan sebotol air dingin untuk menghapuskan dahaga. Adapun untuk pembayarannya, hanya menerima cash ya. Sayang sekali, padahal kan sekarang biasanya apa-apanya udah support QRIS.
Tiket masuk harganya bervariasi, tergantung jenis pengunjung dan destinasi akhirnya. Kalau cuma mampir ke area cawan, harga tiketnya cuma berkisar antara 3.000 sampai 8.000. Tapi kalau mau lanjut sampai ke puncak, biaya tertingginya adalah Rp. 24.000,- per orang.
Dan perlu diingat, untuk bisa masuk ke dalam kita juga harus punya kartu JakCard. Kalau belum punya, maka akan dikenakan biaya tambahan sebesar 30.000 untuk pembelian kartu tersebut. Tapi tenang, JakCardnya bakal jadi hak milik kalian kok. Dan bisa digunakan untuk berbagai keperluan seperti bayar e-toll, masuk layanan transportasi, serta kunjungan ke wisata lainnya seperti Ancol, Ragunan dan Kota Tua.
Jam operasional Tugu Monas terbilang cukup pendek, hanya buka dari jam 8 pagi hingga jam 4 sore. Sementara loket masuk ditutup sejam sebelumnya, tepat di jam 3 sore. Makanya kita tadi buru-buru.
Napak Tilas Kemerdekaan Indonesia.
Begitu masuk ke area dalam, kita akan disambut oleh deretan diorama yang tersusun rapi dan berderet sepanjang ruangan. Melalui koleksi diorama ini, kita bisa mempelajari kembali sejarah bangsa Indonesia dari masa lampau hingga merdeka. Mulai dari zaman megalitikum, awal kedatangan bangsa portugis, hingga berbagai perjuangan untuk membebaskan diri dari para penjajah.
Dioramanya bagus banget sih, detailnya luar biasa. Tiap diorama disimpan dalam ruangan kecil berbentuk kubah gitu, dan disokong oleh lampur penerangan yang ciamik. Deskripsi yang disediakan dalam tiap diorama pun cukup jelas dan tersedia dalam dua bahasa (Inggris dan Indonesia).
Sayangnya, karena waktu yang kami miliki sudah tidak banyak lagi; kami hanya menghabiskan waktu sebentar saja di area diorama ini.
Lanjut, naik ke lantai atas untuk antri menuju lift.
Ngakak Bersama di Dalam Lift
“Ebuseeet, rame amat..”, teriak saya begitu selesai mendaki anak tangga.
Ternyata antrian untuk masuk lift itu cukup ramai, dan bahkan lebih ramai dari antrian loket di bawah. Saya sempat hopeless, ngeliat tumpukan manusia sebanyak itu. Eh tapi setelah konfirmasi ke petugas yang berjaga, katanya untuk antrian masuk akan dipanggil sesuai sesi yang tertera di dalam tiket. Jadi yaa, ga perlu repot-repot antri sambil berdiri. Tinggal tunggu pengumuman dari pengeras suara aja.
Belum ada kepastian, kami pun merebahkan tubuh sebentar di lantai. Menikmati angin yang menderu, sembari meminum air mineral dan menghentaskan dahaga.
“Waduh, ini mana kita belom makan siang yaak.. Kirain bakal bentar, gataunya lama juga.”, seru Pak Herman sambil menatap layar smartphone-nya.
Mbak Yanti cuma mesem-mesem.
Beberapa menit berselang, nomor tiket kami dipanggil oleh petugas. Kami pun langsung berhambur, mendekat menuju ke area lift. Dan ternyataa… di dalam masih antri.. panjang.. hahaha
Wajar sih, soalnya lift-nya cuma ada satu. Itupun kapasitasnya cuma muat 8 orang aja. Sementara untuk proses satu kali naik turun atas ke bawah, membutuhkan waktu kurang lebih 3 menit. Jadi yaa, sabar-sabarin aja dah!
Sekilas saya memicingkan mata, memandangi sekeliling demi membunuh rasa jemu. Seketika saya langsung takjub, karena ada banyak etnis manusia yang ada di depan mata saya. Ada yang kulit hitam, kulit putih, sawo matang, serta lintas agama juga. Ada satu momen saya melihat biarawati sedang bercengkrama dengan salah satu wanita berhijab gitu, saling bertegur sapa dan berbalas senyum ramah. Vibes Bhinneka Tunggal Ika-nya berasa banget euy!
Semakin dekat menuju lift, semakin sedikit rombongan pribumi yang ada di sekeliling saya. Sisa di depan ada beberapa orang aja, sementara di belakang kami hanya ada rombongan bule-bule yang antri dengan fancy. Nggak rombongan juga sih, soalnya bule disini kayaknya cuma datang sama couple-nya aja. Malah ada juga satu bule cewe yang datang sendiri. Bule intropert nih.
Kalo saya tebak-tebak sih, ini bukan dari Inggris ya bulenya. Soalnya pas lagi ngobrol sama partner-nya, kedengerannya kayak serangga lagi kumur-kumur gitu. Negara apaan ya yang ngomongnya gitu? Perancis kali yak, hahaha
Ketika pintu lift terbuka, kami semua langsung berdesakan masuk. Karena posisi kami agak belakang, maka kami pun masuk lift paling terakhir. Untungnya saya dan Mbak Yanti kala itu sudah masuk, lalu tak lama kemudian disusul oleh Pak Herman.
Dasar Pak Herman iseng, sambil masuk dia dadah-dadah gitu ke para bule di luar. Bule-bulenya mah senyum ramah aja, ga ngerti juga kali mau respon apaan.
Eh, beberapa detik kemudian.. Alarm lift-nya bunyi. Ternyata kapasitas lift-nya udah melebihi batas. Alhasil Pak Herman pun disuruh keluar lagi.
Bule-bule diluar yang tadinya senyum, langsung jadi ngakak semua. Pun begitu dengan kami semua yang ada di dalam lift. “Rasain, jahil sih jadi orang..”, kata Mbak Yanti sambil ketawa ngakak.
Sabar ya pak, 3 menit ke depan anda akan jadi bahan ketawaan bule. Hahahaha
Pemandangan Indah, Namun Menyedihkan
Akhirnyaaa, setelah 29 tahun penantian (elah lebay), akhirnya saya bisa menjejakkan kaki di Puncak Monas, 115 Mdpl. Uhuy sekaliiii…
Di ruangan yang disebut sebagai pelataran puncak ini, kita bisa leluasa melihat ke sekeliling kota Jakarta tanpa batasan. Karena memang sekeliling ruangan ini benar-benar terbuka, hanya dibatasi oleh pagar dan teralis sebagai pengamanan. Sangat ramah untuk para pengidap acrophobia seperti saya.
Kalau mau melihat lebih dekat, kita bisa menggunakan teropong yang disediakan. Gratis, gak perlu masukin koin sama sekali. Dan experience-nya mantap sekali euy, jauh banget pandangannya pas pake teleskop ini. Orang lagi nyebrang nan jauh disana aja, bisa keliatan jelas. Duh, jadi pengen iseng beli satu buat di rumah.
Mumpung lagi di atas, saya gak buang-buang kesempatan. Langsung saja saya keluarkan tustel digital, lalu ambil beberapa footage. Yang wajib, tentunya gedung Grha Pertamina yang mau dijadiin konten. Ajib bangeeeet ini ya, keliatan jelas banget sebelah-sebelahan ama Gambir.
View ke area lain juga bagus banget, pokoknya semua gedung pencakar langit di Jakarta bisa terlihat jelas. Tapi entah kenapa, ada satu hal yang lumayan mengganggu di dalam hati saya. Tau ga apa?
POLUSI…
Asli sih, kalo ngeliat langsung dari ketinggian begini, polusi di Jakarta tuh jadi keliatan jelas banget. Coba aja liat jauh ke arah gedung belakang sana, nampak makin sulit untuk dipandang karena terhalangi oleh asap polusi nan tebal.
Kebayang ga sih, gimana kualitas udara yang kita hirup tiap harinya? Hiks.
Moga kelak bisa teratasi yaa, supaya kita semua terhindar dari penyakit-penyakit di masa mendatang. Amiiiin
Penutup
Kami tak menghabiskan waktu lama di atas sana. Bukan, bukan karena overthinking mikirin polusi. Melainkan karena ada urusan lain yang lebih penting, yakni perut kami semua yang mulai berbalas bunyi keroncongan.
Tak lama setelahnya, kami segera turun dari puncak monas, kembali berjalan kaki untuk mencari tempat makan di area dalam stasiun Gambir. Perjalanan hari ini pun tiba di penghujung akhir.
Beberapa tips untuk kalian yang mau ke Monas :
- Usahakan kesini di hari kerja aja. Soalnya hari kerja aja lumayan panjang antrinya, kebayang gimana dah tuh kalo akhir pekan.
- Kalau mau leluasa menikmati diorama dan beristirahat di area cawan, usahakan datang sejak pagi ya.
- Di dalam kawasan Monas sebenarnya ada mobil angkutan gratis, tapi sayangnya hanya bisa turun di Parkiran IRTI saja.
- Siapkan sunblock dan kipas portable, karena matahari lumayan terik.
- Kalau belum punya kartu JakCard, coba pinjem punya temen dulu. Biar gausah beli baru lagi.
Bekasi, 13 Agustus 2024
Ditulis sore hari setelah menjemput putri dari daycare
Semangat penulis kadang naik turun, jadi boleh lah support biar update terus.
Silahkan klik link dibawah
Atau bisa juga dengan cara transfer ke :
BCA : 6871338300 | DANA : 081311510225 | ShopeePay : 082110325124
Bayar tiketnya murah ya Mas. Makanya banyak yg ke sana. Seru juga lihat jakarta dari ketinggian.
Eh emas sebanyak itu aman dari yg mau nyolong kan ya?
Btw kapan2 ngadem di Malang aja…masih sejuk dan relatif minim polusi.
Boleeeeh, tapi kalo di malang bisa naek keret nggak ya mbak?
Seperti biasa…kocak mas,,,baca sambil mesam mesem sendiri 🙂
Aku juga pernah ke monas tapi jaman bahelakkk duluuuu yg mana dulu tamannya masih aramai buat pengunjung terakhir pas covid itu sie tp cuma diluarnya juga gak masuk ke dalam..pengen sie sekali2 nanti kalo ada kesempatan masuk sampai puncaknya juga
Btw utk tiketnya juga gak mahal ya sebenernya yg mahal itu kartu Jakcard nya kalo gak punya hehe
Asli beneran deh mas, polusi Jakarta itu bener2 bikin miris..kalo pas naik pesawat mo turun jkt itu sampai tanya ini mendung apa polusi saking tebelnya kabut menutupi jakarta 🙁
Iyaaa, emang separah itu polusinya mbak. Dan ini tuh masalah yang mengakar banget, sampe sekarang ga ada penyelesaiannya. Hiks
Hehehe, iya bener bepergian yang dadakan pastilah cusss jadi dengan lancar jaya. Meskipun sempat kecapean dan kebingungan jalur jalan kaki nya terasa jauh di tengari bolong .
Daku, sering ke monas kalau ada event. Namun jujurly belum pernah naik ke atas Entar pas ada event lagi kudulah mampirin ke area atas.
Nah, iya mas terkait polusi udara di Jakarta memang cukup mengkhawatirkan sekali. Semoga saja ada solusi dan pergerakan cepat buat mengatasinya yah. Bahaya banget soalnya, mau gak mau ya aku sering pulang pergi Bogor-Jakarta dan di Jakarta bisa seharian, bisa bahaya isi paru-paru ku. Apalagi anak-anak, duh ngeri banget.
Semoga nextnya ada pengelolaan konkrit ya mbak. Entah pembatasan kendaraan, atau tata kelola yang lebih baik biar ada perubahan ke depannya.
Aku tahun lalu ke monas dari kalimantan, tapi karena takut ketinggian, aku sengaja engga naik ke puncak, seremmm..
Masa iya aman sih? Aku masih dag dig dug takut mau naik.
Tapi kayanya pas aku kesana jg pas renov jadi gak bisa naik, wkwkwk
Aman mbakkkk serius. Aku kan takut ketinggian juga, tapi disitu tuh bener-bener tertutup jadi enak buat visit-visitnya
Monas tetap menarik untuk dikunjungi dan tetap menyimpan kebanggaan!, seru banget pengalamannya! kalau ngga salah 2015 gitu pernah nyoba naik puncak Monas pas weekend, antrinya sampe 2 jam… nyampe keatas udah kehilangan mood hahahahah. Ternyata pemandangannya tak se-indah yang diceritain orang-orang gegara polusi ya kang. Kalau lapar gimana dong pas nyampe diatas? kudu bawa roti kali yes ama air minum
Kalau lapar mah agak susah, hahaha. Soalnya emang ga ada kantin sama sekali, cuma ada vending machine doang euy
aku tiap ke monas atau ke Jakarta, belum pernah masuk apalagi sampe naik ke puncak hehehe, kayak diburu waktu
dulu waktu masih SD kesana malah nongkrong di pelatarannya aja sambil nikmati malam Jakarta. udah gitu aja
Adik aku nih yang pernah masuk sampe ke puncak
hiks, antrian di hari kerja aja kayak gitu ya, bisa ditebak kalau pas weekend kayak gimana, aku ga sanggup mungkin kecuali emang bener bener niat pengen naik dan melihat view Jakarta dari ketinggian
harga masuknya masih termasuk murah juga ini ya, ramah di dompet
Kalo pengen santuy mah, main ke cawannya aja mbak. Jadinya ga diburu-buru.
At least kalo ke monas tuh bagusnya lamain di area dalemnya, soalnya enaaak disitu banyak diorama penuh sejarah.
Jangan sedih, aku sendiri pun sampe usia skr belum pernah masuk monas, apalagi naik mas .
Pengen tapi selalu aja suami cari alasan hahahaha . pas tahun berapa, 2015 kayaknya, temen kuliah dari Penang datang, ngajakin kesana. tp aku ga tau kalo monas tutup jam 3. Jadi kami DTG udh bye .
Kayaknya memang harus aku masukin suatu hari ntr. Beberapa menara icon begini di beberapa negara, udh aku masukin, kok yaa monas di negara sendiri belum
Wajar kok mbak, kalo suamimu nggak mau. Thina aja pas tau aku ke puncak monas, dia langsung geleng-geleng kepala. Katanya, “Lah aku aja yang lokasi kantornya lebih deket kesitu.. Ogah, hahaha”
Aku pernah ke sini pas musim liburan ya Allah padat mana nganter lagi naik mobil untuk diantar ke luar, panasnya luar biasa..tapi daripada jalan kaki yes haha..
Makanya mending weekdays mbak. Aku ngebayangin weekend kesini ya Allah, udah pasti semrawut sih antriannya.
Aku juga pas ke Jekarda berasa turis di negeri sendiri gituu..
Uda lamaa banget gak ke Monas dan emejiiing.. Monas masa kini kereeen.
Fasilitasnya uda luar biasa banget sii.. Tapi boleh saran gak itu beneran panaass banget di sana yaa.. Apa pohon-pohonnya gabisa lebih banyak lagi gituu?? HUhuhu, jadi ke hutan raya donk yaah..
Antrian shuttle bus ((mini bus??)) ini mashaAllaa..
Pas aku kesana sampek dorong-dorongan.
Keknya jiwa moengilsku memang ga ditakdirkan menghadapi kerasnya Ibukota deh yaa..
Gitu aja aku uda kek kapok-kapok gituu… ((anak generasi stroberii sekali saya yaah.. maafffkaann))
Segini mah belum apa-apa mbak. Coba dah mampir ke taman mini, itu sekarang lebih kerassss lagi, hahahaha. Lebih semrawuuuuuuttt sistem antar jemput di dalemnya.
Kalo pohon kayaknya segitu-gitu doang mbak. harusnya ditambah yaaa, biar lebih teduh.
Pohon apa kek, kersem gitu hahaha
Dua tahun lalu saat ke Jakarta, aku sempatka mampir ke monas
Pas hari kerja, sepi
Enak menikmati monas dengan tenang, sampai naik ke puncak juga aku
Makin bagus monas sekarang ini
Plus minus sih. Enaknya sekarang tuh bersih gada pedagang sama sekali, gak kucing-kucingan juga.
Minusnya kalo kelaperan silahkan angkat bendera putih. gada makanan sama sekali soalnya hahaha
Saya pun seumur-umur belum pernah masuk ke puncak Monas Mas, beberapa kali ke sana cuman sebatas di dalamnya saja, tapi itu pun sudah lama sekali, ga pernah ke sana lagi, baca pengalaman mas Fajar jadi pengen nyobain naik sampai puncak
Cobain sekali-kali mbak. Ga bakalan kecewa kok, pemandangannya baguuuusss.. asal ga lagi polusi
saya memang ada plan kalau ke jakarta nanti mau ke monas (nak rekod video – guna lagu hetty koes endang).
boleh booking dulu ke tiketnya? kalau non-indo bayarannya??
Tiketnya langsung beli di kasir kak, setahu saya tidak ada pembelian online.
Untuk non indo ada tarif yang berbeda.
Horeeeeee! Penantian setelah 29 tahun akhirnya terlaksana juga naik ke puncak Monas. Memang kalau dadakan kayak tahu bulat itu bisa jadi, sedangkan yang direncanakan lama ga jadi2 wkwkwkwk 😀 Murah ya HTM nya dan ternyata di hari biasa aja antrean lumayan banyak. AKu udah pernah sih tapi jadi pengen diulang lagi ah kapan2 sambil bernostalgia 🙂 TFS.
Aku kalo lagi mendung sih mau ngulang lagi mbak.,
Tapi kalo lagi panas mah, beuh… ora kuat, hahahaha
Sayang baget waktu ke sana gak masuk, saya hanya fokus foto” dengan latar belakang Monas hehe. Semoga nanti bisa ke sana dan masuk, biar bisa sekalian lihat pemandangan jakarta dari atas Monas, ya meskipun pastinya akan sedikit kecewa karena “polusi”.
Sayang baget waktu ke sana gak masuk, saya hanya fokus foto” dengan latar belakang Monas hehe. Semoga nanti bisa ke sana dan masuk, biar bisa sekalian lihat pemandangan jakarta dari atas Monas, ya meskipun pastinya akan sedikit kecewa karena “polusi”.
Faktanya banyak orang Jakarta yang sering lewat Monas tetapi mereka jarang atau pun belum pernah naik ke atas puncak Monas seperti ini, padahal ini adalah sesuatu yang luar biasa dan menyenangkan