Arloji saya menunjukkan pukul 10.00 waktu setempat. Panas Jakarta dan asap kendaraan yang terus berlalu lalang di sekitar Pasar Asemka membuat stamina kami kian terkikis. Rasa pegal yang tadinya hanya terasa di telapak kaki, kini mulai menjalar hingga ke atas paha.
Mengingat open gate menuju acara Big Bang Festival masih 2 jam lagi, tentu kami butuh sesuai yang lebih ideal untuk membunuh waktu. Dan berputar-putar tanpa tujuan di area pasar seperti ini sepertinya bukanlah jawaban yang tepat.
Lagi-lagi, sebuah ide pun terbesit di dalam pikiran saya. Sebuah ide yang kembali langsung disetujui oleh Thina tanpa perlu konfirmasi apa-apa lagi.
Jadi, posisi Pasar Asemka ini kan gak begitu jauh dari Kota Tua ya. Nah, tepat di ujung pasar sebelum masuk ke area kota tua, ada 2 buah Museum yang sangat legendaris. Pertama adalah Museum Mandiri, yang sudah pernah kami kunjungi sekitar enam tahun yang lalu. Sementara satunya lagi, adalah Museum Bank Indonesia, yang persis berada di sampingnya tapi malah belum pernah kesampean.
Cuss dah, mumpung masih ada sisa waktu yang cukup.
Karena memang jaraknya deket banget, (cuma sekitar 50 meter) jadi motor pun kami tinggalkan di parkiran pasar. Lanjut jalan kaki, menyusuri riuh ramai lautan manusia serta bunyi terompet tahun baru yang memekakkan telinga.
Tak lama, mata saya langsung tertuju pada sebuah plang hijau bertuliskan Museum Bank Indonesia. Sepertinya, plang tersebut mengarahkan kami untuk masuk lewat area belakang. Semacem shortcut gitu lah ya, lumayan. Ngirit tenaga.
“Nanti dari sini, jalan terus aja mas.. belok ke kanan”, sahut petugas yang berjaga di depan palang parkir. Kami pun tak mau buang waktu.. langsung bergegas mengikuti instruksi.
Tak butuh lama, kami pun tiba di area pelataran Museum Bank Indonesia. Situasi di area sini cukup sepi, berbanding terbalik dengan area di depan gedung ini yang ramai oleh pedagang kaki lima dan orang-orang yang berlalu lalang.
Kayaknya sih, minat orang Indo buat ke museum emang sebegitu rendahnya yak. hiks
Harga Tiketnya Bikin Kaget
Kedatangan kami di area museum langsung disambut oleh petugas yang berjaga di depan sensor X-ray. Segera setelahnya, ransel dan seluruh barang bawaan kami melewati mesin pendeteksi. Senyum ramah lantas menyambut kami, seraya menunjukkan gestur untuk menunjukkan arah ke loket pembelian tiket.
Mata saya langsung menangkap berbagai detail yang ada di lobby ini. Sebuah gedung nan luas dengan tangga yang mewah, lantai marmer yang elegan, serta berbagai ukiran arsitektur sederhana yang sarat akan nuansa khas peniggalan Belanda. Membuat saya bertanya-tanya…
“Ini kira-kira tiketnya bayar berapa ya?”
Kan ga lucu ya. Niatnya cuma pengen ngisi waktu kosong, terus jadinya malah boncos.
Tapiiii kekhawatiran saya tak terbukti. Karena ternyata tiket masuk disini tuh murah banget! Cuma Rp. 5.000,- aja per orangnya. Jadi untuk dua orang, kami cukup merogoh kocek sebesar sepuluh ribu saja.
Sangat-sangat frugal friendly sekali yaaaa. Approved!
Oya, saat masuk nanti kita tidak diperkenankan untuk membawa ransel maupun tas selempang ya. Jadi sebelum masuk, semua barang wajib dititipkan dulu ke area penitipan. Tentu gausah khawatir, sebab ini semua GRATIS ya ges yaa.
Refleksi Masa-Masa Krisis di Indonesia
Langkah awal kami memasuki area dalam Museum Indonesia ini, disambut oleh sekumpulan diorama pria yang tersusun rapi di depan deretan pintu. Tepat di dalam pintu tersebut, terdapat jeruji besi yang menjadi sekat pembatas.
Rupanya ini adalah area kasir (re : kassier, dalam bahasa Belanda), yang menjadi tempat bertemunya para nasabah dalam aktivitas perbankan pada masa itu. Kalo zaman sekarang mah, Teller kali yah sebutannya.
Setelah ruangan awal tersebut, museum ini seakan membawa kami kembali ke masa-masa lampau. Garis ceritanya dimulai sejak para pengelana dari Eropa berlomba untuk berlayar ke Nusantara, tentunya demi mendapatkan harta karun nan instimewa. Yakni rempah-rempah, yang sangat menggugah selera.
Beberapa tokoh kunci dimunculkan disini, seperti Marco Polo, Laksamana Cheng Ho, hingga Courelis de Houtman. Saya dan Thina pun tenggelam, membaca satu per satu kepingan cerita masa lampau yang sarat akan sejarah itu.
Sayangnya, tak semua pengunjung disini bertujuan serupa. Sejauh yang saya rasakan, sebagian besar dari pengunjung tidaklah benar-benar membaca, melainkan hanya melihat sekilas dan menumpang berfoto. Manalah emak-emak kalo dah foto, posenya lama pulak..
“Eetdah, minggir dikit ngapah. Gue toyor juga tuh pala”, ucap saya dalem hati.
Dalem hati doang yak. Ga berani senggol dah ah kalo ama golongan ras terkuat sedunia mah. hahahaha
Ruangan-ruangan berikutnya, kami disuguhkan memori perjalanan berat Indonesia untuk mengadopsi sistem uang kertas yang benar-benar stabil.
Bayangin aja, ketika Indonesia merdeka di tahun 1945, Bank Sentral itu ternyata belum ada. Satu-satunya Bank yang benar-benar punya kuasa kala itu adalah DJB (De Javasche Bank), yang notabene adalah punya pihak Belanda. Proses nasionalisasinya pun tentu tak mudah, sebab kala itu Pihak Belanda nggak mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Mereka pun kekeuh, lanjut mencetak mata uang buatannya yakni mata uang NICA.
Makanya ga aneh, kalau di masa-masa awal ini mata uang di Indonesia masih belum ada pakem yang jelas. Ada ORI (Oeang Republik Indonesia) dan ada juga ORIDA (ORI Daerah), yang tentunya sangat membingungkan. Bayangin aja, dari Sabang sampe Merauke duit yang dipakenya jadi beda-beda.
Untungnya perjuangan para leluhur akhirnya berbuah manis ya. Lewat proses yang panjang, akhirnya DJB pun dinasionalisasi dan berganti nama menjadi BI (Bank Indonesia) pada tahun 1950.
Yang bikin saya kaget adalah, ternyataa logo BI tuh aslinya cuma logo DJB yang huruf J-nya diganti jadi huruf I. Liat aja sendiri dah…
Lanjut ke ruangan berikutnya, kita akan kembali dihantam memori kelam masa-masa krisis moneter di Indonesia. Mulai dari era Presiden Soekarno hingga Presiden Soeharto.
Kalau di zaman Soekarno, penyebab paling terkenal dari krisis moneter adalah Politik Mercusuar. Kala itu, Negara Indonesia yang baru saja merdeka tentu menginginkan pengakuan dari negara luar. Akhirnya banyak perhelatan Internasional yang digelar, seperti ASIAN Games dan GANEFO. Tujuannya? Tentu demi memperlihatkan kehebatan Indonesia ke mata dunia.
Maka dibangunlah berbagai fasilitas negara secepat kilat. Seperti Stadion Gelora Bung Karno, Jalan Semanggi, Hotel Indonesia, hingga Monumen Nasional. Sayangnya, pembangunan yang ekspress ini akhirnya berdampak panjang, khususnya pada membengkaknya utang negara, inflasi dan akhirnya terjadi krisis moneter.
Sementara di era Soeharto, krisis moneter lebih banyak disebabkan oleh pengelolaan investasi asing yang kurang tertata dengan baik, yang diperparah oleh situasi politik yang kian tak stabil. Akhirnya kala para investor cabut dari Indonesia, maka terjadilah krisis moneter tahun 90-an itu.
Disini ada semacem peta gitu dengan lampu-lampu merah, yang menandakan lokasi terjadinya berbagai kerusuhan dan penjarahan yang terjadi kala itu.
Yang bikin saya kaget adalah.. “Lho lho lho, kok ada daerah Pondok Gede juga?”
Ternyata warga Bekasi dari dulu emang udah bar-bar yak. hahahaha
Sebenarnya masih banyak cerita-cerita menarik lainnya, tapi mengingat waktu kami hanya 2 jam, jadi beberapa poin cerita tidak kami baca secara utuh.
Yaah, maybe next time lah ya.
Haru Perjalanan Wanita di Herstory
Saat kedatangan kami kala itu, ternyata sedang ada pameran kontemporer dengan tema perjalanan dan perjuangan para wanita di Indonesia.
Sebuah poster “Cerita Perempuan dalam Rupiah”, menjadi awal cerita yang luar biasa. Para wanita yang tercantum di mata uang Republik Indonesia ini, berangkat dari berbagai latar belakang yang berbeda. Ada yang bertempur di garis depan (Cut Nyak DIen), yang meneguhkan kesetaraan (Kartini), dan masih banyak lagi
Ruangan berikutnya, membuat kami terhenyak. Ada banyak fakta suram nan menyedihkan, yang dihadapi wanita indonesia masa lampau. Mulai dari dijadikan gundik oleh serdadu VOC, dijadikan budak, hingga dilecehkan dan dipaksa melayani para bos perkebunan.
Budaya patriarki di masa lampau, membuat wanita banyak terbelenggu di dapur, kasur dan sumur…
Daendels pernah bilang, “Perempuan tidak punya tempat dalam penghormatan umum, dan terhadap perempuan hanya ada urusan pribadi”.
Sebuah anggapan yang jelas keliru, sebab dalam perjalanan sejarah Nusantara sendiri sebenarnya banyak tokoh-tokoh perempuan yang ikut terlibat. Seperti Ratu Gayatri Rajapatni, Panglima Matah Ali, hingga Laksamana Malahayati, yang berhasil membunuh Cournelis de Houtman dalam duel satu lawan satu.
Kurang keren apa coba?
Maka bergetarlah hati kami semua kala mendengar ucapan dari RA Kartini.
Bukanlah laki-laki yang hendak kami lawan. Melainkan pendapat kolot dan adat yang usang.
In the end of the exhibition, ada berbagai ornamen yang menggambarkan berbagai profesi yang kini bisa digeluti oleh kalangan perempuan. Mulai dari Atlet, Dokter, Petani, Astronot, hingga Content Creator.
Thina pun antusias untuk ikut berfoto, dan dia memilih untuk jadi Pengusaha.
Saya bantu aminin deh yang kenceng. “Amiiiiiiiinnn….”
Ada Photobooth dan Playground Gratis!
Sesaat sebelum kami melangkah menuju pintu keluar, seorang petugas tiba-tiba menghampiri kami dan memberitahukan bahwa ada photobooth di area gedung sebelah kanan. Tadinya saya agak maju mundur, sebab posisi kala itu sudah hampir mendekati jam 12 siang. Tapi wesss, mumpung lagi disini, gaskeun ajalah.
Yang bikin saya takjub, ternyata selain gak perlu bayar apa-apa lagi alias GRATIS, ternyata disini juga ada area playground gitu yang bisa dipakai untuk anak-anak.
“Yah, tau gitu mah bawa Putri yak kesini.”, kata Thina dengan ekspresi kecewa.
Saya langsung bales. “Kalo Putri ikut mah, yang ada kita ga bakalan mampir kesini”.
Dalam sisa waktu yang sempit ini, kami menyempatkan diri untuk mengantri ke salah satu photobooth. Unik ternyata ya, sebab latar belakangnya sengaja dibikin hijau, biar bisa diganti ke berbagai background yang menarik.
Diantara berbagai pilihan, kami memilih area depan Gedung Indonesia.
Setelah puas berfoto, nantinya hasilnya tidak dicetak. Melainkan dikirim via surat elektronik. Daaaaan… inilah hasilnya :
……………………
Tak terasa, 2 jam waktu telah berlalu begitu cepat. Begitulah adanya, kalau kita berkunjung ke Museum untuk benar-benar merelungi isinya. Bukan cuma buat foto-foto semata.
Tepat di pukul 12.00 ini, kami berjalan keluar menuju ke deretan pedagang kaki lima. Mengisi perut dengan mie ayam dan cemilan lainnya, sebelum kemudian lanjut ke acara Big Bang Festival di JiExpo Kemayoran.
Yah, you know lah. Makanan disana pasti mahal-mahal. Jadi sebisa mungkin kami mengenyangkan perut dulu, biar nantinya gak usah jajan apa-apa lagi.
Daaan demikianlah perjalanan singkat kami di Museum Bank Indonesia. Kalau kalian, pernah melipir kesini juga ga? Cobain cerita dong di kolom komentar yak!
Bekasi, 3 Januari 2025
Ditulis setelah ketiduran sambil nonton Squid Games 2
Semangat penulis kadang naik turun, jadi boleh lah support biar update terus.
Silahkan klik link dibawah
Atau bisa juga dengan cara transfer ke :
BCA : 6871338300 | DANA : 081311510225 | ShopeePay : 082110325124
serunya punya pasangan seperti mba Thina, yang suka diajak kemana saja. Karena ke Museum tuh emang gak semua orang mau, atau yang seperti mas fajar bilang cuman numpang foto-foto doang. Akupun pengen pergi ke Museum seperti ini, selain nambah wawasan juga. Aku bisa ngajarin anak tentunya tentang uang. Biar ngerti dari kecil ngerti sejarah juga. Duuuh semoga bulan April nanti bisa mampir sini deh.
Menarik juga museumnya ya, banyak sejarah yang bisa dipelajari. Seru tuh liat kilasan yang era belanda
memang puas belajar macam-macam perkara tentang bank di sini…
saya secara peribadi memang suka pergi muzium
banyak ilmu baru diperoleh…
Saya minggu yg lewat main ke Jakarta, main ke kota Tua , tapi cuman mampir ke museum sejarah Jakarta, terlalu banyak yg saya lihat dan baca di sana, banyak foto”juga yang saya ambil , sampe saya bingung sendiri liatnya wkkk , tapi memang museum dan gedung-gedung di sana masih cukup bersih dan terawat, cukup lengkap juga foto” dan barang” yg di pajang juga masih bagus dan rasanya terkagum” banget dengan sejarahnya yg luar biasa.
Pernah main ke sini, tapi beneran gak dibacain infonya, huhu. Waktu masih single ke sini sama temen2 malah foto2, ahaha.
Tapi aku seneng sih, walaupun gak baca, waktu itu liat2 uang jaman dulu dan ngerasain sendiri krisis moneter, lumayan jadi pemecut semangat untuk bisa mengelola uang dengan lebih baik.
Terus dari sini malah baru tau, ternyata dulu bukan ORI aja yang ada, tapi ORIDA. Pusing juga ya kalau mau traveling, uang dalam negeri aja beda beda untung sekarang udah jadi Rupiah ya.
Menarik juga cerita tentang Museum BI ini Mas. Saya kepincut jadi pengen berkunjung kesana. Mungkin nanti selepas musim hujan deh kesana…
Tentang masa krisis moneter, saya mengalaminya Mas. Kalau gak salah dimulai dengan adanya demo mahasiswa besar-besaran sampai menduduki gedung MPR. Setiap hari saya melewati gedung MPR, karena rumah di Bekasi, kerja di Kali Deres.
Kemudian terjadi kerusuhan dengan adanya penzarahan di beberapa lokasi. Saat itu pernah saya terjebak 1 malam di pabrik tidak bisa pulang karena angkutan umum tidak tersedia.
Puncak krisis ini bagi saya pribadi adalah saya di PHk bulan November. Saat itu anak bungsu saya (anak ke-3) baru lahir pada bulan Juli.
Setelah di PHK nganggur sampai bekerja kembali bulan Januari 2000…
Ah jadi cerita ngalor ngidul nih Mas….
Btw, selamat tahun 2025. Sukses selalu dan semoga segalanya menjadi lebih baik bagi Mas d an keluarga.
Salam,
menarik masuk ke museum Bank Indonesia, museum ini bikin aku penasaran. Kayaknya di Surabaya juga ada bangunan Bank Indonesia lawas yang dijadiin bangunan bersejarah, tapi aku belum pernah masuk
banyak banget wawasan yang diperoleh ketika masuk ke Museum BI ini, jadi tau mata uang zaman dulu juga. Baidewei, kayaknya aku waktu SD pernah koleksi mata uang lawas, tapi sayang lupa naruh albumnya dimana
capek keliling bisa potobooth juga, jarang-jarang nemuin ada tempat wisata museum yang menyediakan fasilitas kayak ini dan aku salfok sama tiketnya, murahnya kebangetan ini
Mauu lah foto kalo gratis hehehehee. Harga tiket murah banget ya padahal isi museumnya bagus. Juga bisa dikunjungi anak2 buat belajar juga tentang ekonomi dan keuangan.
Bukanlah laki-laki yang hendak kami lawan. Melainkan pendapat kolot dan adat yang usang.
Quote RA Kartini relatable bangettt , bahkan sampai lintas zaman ya.
Yapp sebagai perempuan, pastinya makin bangga dan bersemangat utk terus menunjukkan kiprah dan kontribusi terbaiiikk
Apalagi banyak role model panutan jugaa ya khan
Ah iya, tahun 1998 adalah titik balik bagi bangsa Indonesia
Nggak hanya terjadi suksesi politik setelah 32 tahun lamanya, tapi harus memgalami masa masa suram krisis moneter
Mendatangi museum bank Indonesia seperti ini jadi momen refleksi ya
Alhamdulillah masih bisa bertahan setelah melewati badai krisis moneter
Kayaknya kapan2 saya harus ke Museum ini Mas Fajar. Luar biasa sekali pengalaman yang di dapat. Dan ternyata asal usul kalimat urusan perempuan hanya di Dapur, Sumur dan Kasur adalah dari masa penjajahan ya. Tapi efeknya sampai sekarang masih ditemukan pendapat2 tersebut yang seakan2 membelenggu para perempuan dari mimpinya dan hanya hidup dalam 3 hal tersebut saja. Ah, sedih sekali :’)
Terima kasih sudah berbagi perjalanan yang penuh makna, Mas Fajar dan Mba Thina 🙂 Salam kenal untuk Mba Thina
aku pikir harga tiketnya itu sekitaran 25k gitu yaa, ternyata 5k dong. murce banget. kayaknya harga masuk museum di sby seitar 10k deh. gils, ini mah lebih muraah.
baruu tahuu kalo mata uang di tiap daerah dulu bedaa. nggak kebayang gimana ribetnya kalo lagi merantau. harus tuker uang antar daerah gituu?
lhaa iya juga logonya ternyata cuma dipendekin aja gars j nya jadi i wkwk.
baca artikel ini ternyata jadi banyak fakta membanggongkan wkwk. di surabaya juga ada musum de javashe bank, tapi kyknya nggak selengkap ini. dan aku terakhir ke sana jaman kuliah wkwk gatau juga deh bakalan ada perubahan atau nggak
Selalu detail menginformasikan apa yang dilihat, tidak lupa nyelipin canda supaya rasa tetap senang, tentang emak-emak yang foto, eet dah minggir wkwkwkw
Tentang perempuan dan tidak luput mengingatkan tentang penyebab krisis era Soekarno dan Soeharto. Kamu memang kece Jar. Tetap yaa
Harga yang terjangkau untuk bisa menambah wawasan bersejarah tentang perjalanan BI dan masa-masa ekonomi kita dulu.
Yang paling daku demen di Museum BI ini adalah masuk ke ruang penuh emas kak, wiihh serasa punya banyak emas wkwkwk
Nah bener banget mas, minat kunjungan ke museum itu bisa dibang masih agak kurang bagus di negeri kita. Maka aku tuh di 2025 punya wishlist pengen jalanin #DariPerpuskePerpus & #DariMuseumKeMuseum. Tujuannya pengin kembali menyalakan keduanya. Setidaknya anak-anak muda-mudi melihat betapa seru dan menarik berkunjung ke perpus dan museum.
Kalau berkunjung ke museum sebetulnya bisa seharian full ya. Secara ada banyak informasi yang bisaa diperoleh, dengan banyak membaca. Aku berkali-kali ikutan walking tour ke museum dan jadi makin suka sama kegiatan tersebut karena masuk museum itu beneran kembali membuka pengetahuan terkait sejarah kemudian pulangnya bisa bercerita lewat tulisan dan juga video.
Lewat kisah mas Fajar & Mba Thina yang masuk museum bank Indonesia pun jadi nambah lagi wawasan ku. Apalagi saat kali berkunjung ada exhibition tematik ya, bikin museum jadi makin menariiiikkk. Sungguh ciamik bisa foto bareng di photobooth nih mana gratis pula .
Ya Allah langsung teringat kenangan pas acara kompetisinya Bank Indonesia sebelum pandemi. Makin bagus ya kak ini..
aku dulu kepo banget yang emas itu asli apa palsu hehehe
Main ke museum dan belajar sejarah itu seru yaa, ini tiketnya murah lagi. Pengen deh ajak anak main ke sini
Wuih seru banget ini bisa main ke Museum Bank Indonesia. Anak-anakku bakalan suka nih kalo main ke tempat kayak gini. Terutama anak ketiga. Nambah wawasan banget nih. Sejarah dunia finansial di negara kita, terutama saat-saat krisis moneter dulu. Aku salfoknya dengan dapur zaman baheula itu lho. Bikin keingetan sama rumah nenek di daerah pantura. Sama sodara-sodara juga di kampung. Kayak begitu dapurnya. Enak banget rasanya makan di tempat kayak gitu. Walopun cuma sama kangkong, sambel, tahu. Nanti kalo ke Jakarta, boleh-boleh nih Museum BI ini jadi destinasinya.
Baca kata proyek mercusuar, kok jadi teringat sebuah ibukota baru yang didirikan tanpa perhitungan matang belakangan ini ya, akibatnya masyarakat jadi sengsara karena negara tertimbun utang..nggak belajar dari sejarah orang kita, cepat lupa..
saya pertama ke sini kayaknya 2012 pas ikut kelas bahasa Prancis, terus 2013 – 2015 itu kayaknya rutin ikutan meet up komunitas traveling tapi akdang masuk kadang enggak, lupa-lupa juga duu bayar tiketnya berapa, sekarang Rp5 ribu masih sangat terjangkau ya Mas Fajar, jadi pengen coba ke sana lagi, sudha lama ga kesana, pasti masih sama ya kayaknya dengan yang dulu
Pas ke Kota Tua Jakarta, aku ga ke Museum Bank Indonesia.
Hiiks~
Tapi anakku yang sekolah di Depok, seru banget jalan-jalannya ke Jekarda muluuukk..
Jadi aku liatin video yang dikirim ama Ustadzahnya tuh.. pas main ke Museum Bank Indonesia. Aku juga dapet oleh-oleh tempelan kulkas dari kakak.
Seneng banget explore sejarah..
Sedih juga yaa.. karena perempuan zaman dulu mengalami diskriminasi. Meski skarang juga masih sih yaa.. tapi uda jauh lebiiih baiikk..
Saya juga suka mengunjungi museum Kak. Untuk htm Museum Bank Indonesia sebesar 5 ribu rupiah sangat terjangkau. Menarik juga bisa lihat perkembangan atau sejarah perekonomian di Indonesia. Jadi tahu juga tentang mata uang zaman dahulu kala.