Menulis artikel ilmiah adalah salah satu tugas berat dalam dunia akademik kampus, bagi mahasiswa bahkan dosen sekalipun. Namun karena tugas, mau tidak mau ya harus dilakukan. Mahasiswa S2-S3 pasti tahu lah bagaimana rasanya. Ditumpuk berbagai tugas dan masih saja dibebani tanggungan untuk publikasi ilmiah. Itulah yang pernah kami rasakan, masih terkenang rasanya sampai sekarang.
Baru saja seminar proposal selesai, tanggungan sudah bertambah, “harus publikasi jurnal atau seminar internasional”. Tidak main-main, tanggungan yang satu ini “menjadi syarat kelulusan.” Jadi kalau tidak ada publikasi jurnal, ijazah tidak bisa diambil. Bikin pusing kan? Pasti. Untuk itulah, disini kami ingin berbagi pengalaman, biar kalian tidak merasa sendiri.
Tuntutan Mahasiswa dan Dosen

Bukan rahasia lagi, mahasiswa harus penelitian dan nulis jurnal agar bisa lulus, dosen kalau mau naik pangkat juga harus melakukan hal sama. Sebenarnya, ini adalah kebijakan kampus yang baik dalam rangka meningkatkan kuantitas riset. Tapi kadang terasa cukup membebani mahasiswa. Apalagi meneliti dan publikasi itu butuh biaya, mana nggak murah lagi.
Bayangkan, satu kali publikasi di jurnal nasional saja (Sinta 2 misalnya), ada yang mematok harga Rp2,5 juta. Jurnal Sinta 4 saja ada yang Rp600 ribu kok. Belum kalau kita bahas yang jurnal internasional Scopus. Ada yang Rp16 juta, padahal Scopus Q4. Termahal pernah kami lihat di angka Rp48 juta untuk Scopus Q2. Gila bukan? Aneh tapi nyata, kita yang nulis, kita yang bayar, jurnal yang dapat uang. Tapi bagaimana lagi, kita sebagai mahasiswa sudah masuk di sistem ini. Hanya bisa menghela nafas dan ikhlas ataupun tidak harus membayarnya.
Pokoknya bikin kantong bolong lah masalah publikasi ilmiah ini. Makanya tidak heran kalau mahasiswa itu penelitian bersama dosen. Mahasiswa yang meneliti, dosen yang jadi nama pertama, dosen yang bayar publication fee-nya. Kadang mahasiswa hanya disuruh bayar proofreadingnya.
Itulah yang pernah kami alami ketika jadi mahasiswa magister dahulu. Kami bayar proofreadingnya, dosen yang bayar publication fee-nya.
Proofreading Jurnal Itu Wajib, Tapi…
Nah, sekarang lupakan keluhan biaya jurnal-jurnal di atas. Kami ingin berbagi pengalaman tentang proofreading, hal yang wajib dilakukan terhadap paper yang mau disubmit ke jurnal internasional Scopus. Intinya dari sumber yang kami baca, proofreading itu tujuannya cek dan memperbaiki tata bahasa artikel kita sudah benar sebelum dicetak atau diterbitkan online. Jadi bukan mengubah-ubah makna, tapi mengubah susunan kata atau frasa yang dirasa kurang tepat.
Sebenarnya, kita bisa melakukan proofreading sendiri, syaratnya kita harus bisa bahasa inggris dengan benar, paham grammar, dan penggunaan gaya selingkung jurnal. Banyak peneliti di Indonesia yang melakukan proofreading artikelnya secara mandiri. Ya sebab mereka terampil menggunakan bahasa inggris. Berbeda kasus dengan mahasiswa seperti kami, bahasa inggris terbatas, nulis artikel ilmiah kepaksa, translate jurnal pakai DeepL, ya pokoknya babak belur hancur lebur lah artikel itu. Tapi kami nekad submit saja.
Begini Ceritanya…
Target awal jurnal yang ingin kami tembus sebenarnya Q4 atau Q3, tapi coba dulu Q2 (jurnal dari Turki kalau nggak salah waktu itu). Kami submit lah jurnal hasil translate ala-ala itu. Tidak butuh waktu lama, cukup 16 jam langsung direject dengan tegas. Katanya topik kurang menarik, banyak kekurangan sana-sini, bahasa kurang bagus, dll. Banyak lah pokoknya alasan ditolaknya. Akhirnya kami diskusikan dengan dosen pembimbing. Beliau menyarankan untuk ganti jurnal, tapi diproofreading dulu di Kampus U (nama kami samarkan).
Saat itu kami bertanya-tanya lah, “Apa itu proofreading?”
Setelah kami cari-cari info, ternyata proofreading itu pengecekan dan perbaikan tata bahasa. Tujuannya agar bahasanya lebih baik dan editorial jurnal tidak mempermasalah tata bahasa lagi. Singkat cerita, kami kontak admin proofreader Kampus U (kampus Indonesia), dan kami akhirnya deal transaksi 2 juta lebih untuk perbaikan bahasa artikel jurnal kami. Kami menunggu hingga satu minggu kerja (lama banget itu rasanya).
Seminggu berlalu, hasil dikirimkan. Kami cek ternyata tidak banyak perubahan. Hanya dikasih dua file, tracking dan file bersih. Seleh cek, kami langsung submit ulang di jurnal Q3. Dor! Rejected lagi. Tata bahasa masih dipermasalahkan. Pusing banget. Sudah bayar 2 juta lebih, eh hasilnya tetap sama. Kami sampai berpikir apa memang kualitas artikelnya yang tidak mendukung.
Proofreading Kedua Kalinya
Kami kembali konsultasi dengan dosen, katanya suruh proofreader ulang dan memperbaiki metodologi dan penambahan ethical clearance. Dosen kami kali ini menyuruh proofreading tapi yang benar-benar native internasional. Beliau mau bayarin, tapi harus dipastikan native proofreader.
Kami cek di Google banyak sekali jasa proofreading di luar negeri, tapi harganya nggak ngotak. Ada yang 6 juta, 7 juta, sampai 12 juta untuk artikel yang kami tulis. Sampai-sampai, kami sempat mengurungkan niat submit ke jurnal internasional. Berhari-hari kami mencari jasa yang cocok, tapi selalu kepentok dengan harga yang selangit.
Disinilah pintu solusi terbuka. Kami menemukan jasa proofreading native tapi dimediasi oleh orang Indonesia. Harganya lebih murah dari pasaran jasa proofreading di luar negeri. Namanya Mas Huda (kami rasa dia orang Jawa, hahaha…). Kami banyak konsultasi dan sempat bertanya ke beliau kenapa harganya lebih murah, alasannya katanya gini: “ Saya berhubungan langsung dengan native-nya dan memang sudah jadi kolega bisnis lama, makanya harganya bisa nego dengan orang UK-nya langsung.”
Jadi Mas Huda ini orang Indonesia, mantan mahasiswa magister juga, sering penelitian juga, dan beberapa tulisannya juga sudah terbit di jurnal internasional Scopus Q2. Karena itulah kami yakin dengan beliau. Proofreader kolega mas Huda ini orang UK (United Kingdom) ya, bukan dari USA (United State of America). Tapi tetap bisa kok proofreading Inggris US maupun UK. Kebetulan kami dulu pakai English UK.
Mas Huda menawarkan tiga paket proofreading, 1 proofreading orang Indonesia (Basic Local) dan 2 proofreading orang UK (Basic dan Profesional Native).

Kami dulu pesan yang profesional native karena butuh cepat (3 hari selesai). Ternyata benar, 2,5 hari selesai dengan perbaikan yang cukup banyak disana-sini, terbanyak di pendahuluan yang isinya dasar teori dst. Padahal, itu paper yang sama yang kami proofreadingkan di Kampus U. Hasilnya benar-benar berbeda signifikan.
Kerennya lagi, Mas Huda kirim banyak sekali file. Ada 2 file bersih hasil proofreading, 2 file tracking, Cek Turnitin, cek hasil AI, sertifikat scan gambar ber-barcode resmi, dan ada bukti pembayaran kalau nggak salah. Selain dikirim lewat Whatsapp, semua dibackup sama Mas Huda ke dalam link tertentu, katanya “agar ada backup kalau misal chat Whatsapp terhapus”. Link dan backupan itu katanya juga tidak akan expired selamanya. Kata Mas Huda, jasanya berkomitmen tidak menyebarkan hasil proofreadernya, jadi identitas pemesan dijamin aman dan tidak akan ada yang tahu kalau kita pernah pesan jasa proofreader ke beliau. Makin yakin lah kami saat itu.
Seinget kami, ada dua jenis hasil proofreading untuk paket profesional native. Perbaikan yang hard dan soft. Ada dua file yang bebas kami pilih, kalau mau yang perbaikannya banyak ya pilih yang hard, kalau yang sedikit soft. Dulu kami pilih yang hard karena kami merasa butuh banyak perbaikan. Kalau pembaca dari awalnya sudah pede dengan bahasa di artikelnya, lebih baik milih yang soft.
Puas dan Accepted
Dari awal pelayanan, pengerjaan, dan backup file kami sudah sangat puas. Sekarang tinggal cek hasil proofreadingnya. Kami submit ulang di jurnal yang berbeda, kali ini kami submit ke jurnal Q2 dan melampirkan sertifikat proofreading dan hasil cek Turnitin dari Mas Huda.
Boom! Accepted. Ya, kurang lebih 2,5 bulan lamanya setelah submit.
Senangnya minta ampun, artikel pertama diterima, ya meskipun banyak revisi di sana-sani. Yang jelas tidak ada revisi bahasa sama sekali. Hanya revisi penentuan sampel, tambah kerangka teori, perdalam hasil, dan bahkan daftar referensi pun tidak ada catatan sama sekali.
Paket professional native Mas Huda ternyata mencakup cek daftar pustaka juga. Memang ketika kami cek hasil trackingnya, banyak sekali perbaikan yang Mas Huda lakukan di bagian daftar pustaka. Pokoknya puas dengan hasil proofreading Mas Huda. Kalau pembaca ingin pesan juga, linknya sudah kami lampirkan di bawah atau hubungi Mas Huda-nya langsung!
Di websitenya Mas Huda (di lampiran bawah), sudah dijelaskan sama Mas Huda semua hal tentang proofreading. Semua proses dan jenis jasanya juga dijelaskan dengan sangat rinci. Menurut hemat kami, daripada ambil resiko dan bayar mahal, kalau butuh proofreading hubungan saja Mas Huda. Beneran nggak banyak cing-cong langsung dibantu.
Semoga Cepat Lulus!
Setelah jurnal terbit, hati jadi tenang. Tinggal fokus tesis atau disertasi, terus lulus tanpa harus ditahan ijazahnya. Semoga pengalaman di atas bisa menjadi inspirasi ya. Tidak ada sedikitpun niat menjelekkan kampus atau jasa manapun, ini murni pengalaman magister kami yang melelahkan dan mengesalkan kala itu.
Akhir kata, semoga cepat lulus, semoga artikel ilmiahnya segera terbit di jurnal internasional tanpa kendala apapun. Salam sukses dan sehat selalu!
Lampiran dan Referensi :
https://mashuda.id/jasa-proofreading/
https://en.wikipedia.org/wiki/Proofreading
https://www.grammarly.com/writing-process/proofreading
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/proofreading



Akhirnya bisa publikasi juga ya. Alhamdulillah
Daripada ke admin proofreader Kampus U, dengan membayar transaksi 2 juta lebih untuk perbaikan bahasa artikel jurnal dan habsiknya ternyata ditolak juga, mending langsung ke Mas Huda aja dong ya
Gak harus menunggu lama diterima pula
Solusi bagus dan jadi rekomendasi nih
Ternyata proofreading jurnal lebih rumit daripada proofreading naskah buku yang siap cetak yaa.. sampai harus hire proofreader profesional dari luar pula tapi hasilnya sepadan ya, jurnalnya lolos diterbitkan..
Ternyata serumit itu publish ke Scopus ya Mas, aku baru tahu. Dan aku baru tahu juga harus pakai jasa proofreading buat mbantuin, mana 2 juta dan belum tembus huhuhu, nyesek pastinya. Untuk ada Mas Yuda, lebih murah dan langsung tembus. Info yang menarik si ini, kali aja nanti aku ada di posisi yang sama ya 🙂
Dulu sempat pas kuliah tuh diajak kerja sama sama temen² buat bikin jurnal Internesyenel macam ke SCOPUS ini. Cuma rasanya aku nggak sanggup mass.. wkwkw.. mana masih ada tugas akhir yang kudu dikelarin.
Daaannn aku TERKEJOET pas tahu kalau mau terbit di SCOPUS ini kudu bayar buat proofreadernya. Singkat cerita pengalamannya kurang lebih sama kayak Mas Fajar. Temen aku malah sempat kena penipuan sudah bayar 3 juta lebih, bahasa inggrisnya ternyata kacau balau, pengantar sampai isinya masih sama, jadi cuma alih bahasa doang. Gilaakk!! Akhirnya cari² dan dapat, totaly tuh mereka habis 48juta lebih.
Kamu dan timmu keren mas. Bisa nembus scopus, meski dengan segala gono gininya yang nggak mudah.
Urusan akademik aku memang tidak terlalu paham secara detail, dan baru tahu ketika baca ini. Hanya sering mendampingi, melihat kawan, kakak yang sedang sekolah S2 Kimia.
Tidak secara detail tapi terlihat bagaimana perjuangannya, kadang terdengar obrolan antar kawannya. Urusan Jurnal dll.
Yang aku tangkap, mereka tidak mengeluarkan dana untuk hal² yang disebutkan diatas karena kebetulan kakak banyak koleganya . Eh tapi mungkin aku kelewat yak. Baru ngeh tahu banget sama urusan publis bayar puluhan juta. Aku kok merasa miris yak. Tapi bagaimana lagi ya. Semoga kedepannya semuanya dilancarkan.
Keren, Mas
Penantian dua bulan lebih nyaris 3 bulan memang lama
Namun setelah ikhtiar terbaik dan menemukan proofreader yang tepat pula, hasilnya memuaskan
Sungguh pengalaman tak terlupakan, bukan…
Sukses selalu dengan tesis atau disertasinya ke depan