Matahari nampaknya masih berada di posisi nanggung. Semilir angin yang masih dingin terasa kontras dengan Kota Bekasi yang terkenal dengan hawa panasnya. Arloji saya pun masih menunjukkan pukul 06.00 ketika saya tiba di pintu gerbang rumahnya Thina. Esok hari adalah tanggal 6 mei, yang menandakan bahwa seluruh warga negara +62 ini sudah memasuki bulan Ramadhan. Dan berhubung hari ini adalah hari terakhir sebelum masuk puasa, jadi kami pun memutuskan untuk traveling ke puncak seperti yang sudah direncanakan dari jauh-jauh sebelumnya.

Yap, sejak dari berbulan sebelumnya, Thina memang sudah beberapa kali mengajak saya untuk ke Taman Safari. TapiΒ  berkali-kali juga ajakan itu saya urungkan. Masalah utamanya, karena saya bingung gimana caranya berangkat ke taman safari sementara saya sendiri ga punya mobil? Masa iya nanti masuk kandang singa sambil nenteng motor? Lha auto-dijemput malaikat πŸ™

Secercah petunjuk pun muncul ketika saya melakukan observasi sejumlah artikel di Internet. Dari beberapa blog yang saya kunjungi, didapatilah informasi bahwa taman safari yang selama ini identik dengan naik mobil, ternyata memiliki akses untuk sepeda motor! Lebih tepatnya, ada tumpangan BIS GRATIS bagi pengendara motor yang memasuki taman safari.

Berbekal sedikit informasi dari para netizen itu, akhirnya kami berdua pun bersemangat untuk segera berangkat. Tepatnya pukul enam lewat lima belas menit, Si Belalang Tempur (baca : Kawasaki Athlete) kecintaan saya pun saya arahkan keluar dari garasi. Berboncengan, kami berdua segera bergerak melintasi Narogong menuju Cileungsi, kemudian lanjut ke Cibinong hingga Sentul.



Aplikasi Waze mengarahkan kami berdua untuk menjajal jalur alternatif, menjauhi jalur utama yang seringkali timbul kemacetan tak terduga. Maklum sajalah, ini kan Bogor yang terkenal dengan sebutan Kota Seribu Angkot. Beruntunglah meskipun jalanan yang kami lalui cukup nanjak dan turun ‘ekstrim’, tetapi motor saya masih sanggup melibas semuanya tanpa masalah. Plus lagi, hampir tak kami temukan kemacetan berarti. Begitu tersadar, tau-tau kami sudah nongol di jalan Raya Puncak Cisarua. Duh Gusti, kali ini saya bersyukur hidup di zaman ketika Waze sudah ada.

Sekitar pukul setengah sepuluh, akhirnya kami pun tiba di gerbang masuk ke Taman Safari. Tak sedikitpun rasa bingung menghampiri saya, karena sejumlah papan petunjuk dan rambu-rambu jalan sudah tersedia di hampir setiap kelok jalan yang saya lalui. Untuk sepeda motor, jalur masuknya ada di pojok sebelah kiri dari pintu gerbang. Tak usah sungkan untuk bertanya, karena petugas disini pun ramah-ramah sekali

Ngajak ribut petugasnya nih, *tapi boong

Dapet gelang thermal dan denah lokasi taman safari

 

Bertahun-tahun tak pernah berkunjung kesini, ternyata Taman Safari berkembang dengan sangat maju seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini nampak dari tiket masuknya yang kini mengadaptasikan gelang thermal, persis seperti yang digunakan di event besar Gaikindo, IIMS dan sebagainya. Selain mempercepat proses checking dari petugas, gelang semacam ini juga tahan air dan tak mengganggu kita jika ingin mengambil air wudhu.

Parkiran motor berada hanya beberapa meter dari pintu masuk. Saya pun segera mengatur posisi Si Belalang Tempur ini dan sejenak merapihkan barang bawaan. Tak jauh dari sana, ada beberapa bis berwarna belang hijau putih yang sudah terdengar deru mesinnya. Sang supir nampak duduk tenang di kursi depan sambil sesekali mengecek notifikasi di smartphone-nya.

Melihat supir yang sudah mulai bersiap menarik pedal gas, Saya dan Thina pun mempercepat langkah kaki ke arah bus tersebut. Tepat di depan pintu bis samping kiri, seorang petugas wanita menghentikan kami untuk sekadar mengecek keberadaan gelang thermal yang kami gunakan. Segera setelah kami menunjukkan tiket di pergelangan tangan kami, ia pun mempersilahkan kami untuk masuk.

 

Bis nampak lengang. Maklum, besok puasa

Pak supir lagi curhat masalah keuangan pribadinya *boong lagi

Agar bisa mendapatkan view yang luas, kami pun segera mengambil posisi duduk paling depan; persis di samping pak supir yang sedang bekerja. Di posisi ini, kami dapat melihat koleksi satwa dari jendela sebelah kiri serta jendela sebelah depan. Bisa juga leluasa melempar pertanyaan kepada pak supir karena posisinya yang berdekatan.

Sejenak menanti, akhirnya bis yang kami tumpangi bergegas pergi, meninggalkan terminal dan sejumlah pengunjung lain nampaknya yang terlambat datang. Suasana di dalam kabin terasa cukup nyaman. Meskipun armada ini agak sudah berumur, tetapi kondisinya lumayan terawat. Angin yang berhembus dari AC pun terasa cukup dingin, mungkin karena didukung cuaca puncak yang sedang dingin pula.




Pak supir ternyata tidak hanya memutar kemudi dan menaik turunkan pedal saja. Sesekali, ia mengambil mikrofon dari dashboard untuk mendekatkan benda itu menuju mulutnya. Dengan bersemangat walau agak terbata, ia lantas menjelaskan berbagai informasi mengenai koleksi fauna di Taman Safari ini.

Saya merasa bersyukur mendapatkan posisi duduk di kursi paling depan ini. Karena disini saya bisa mendengarkan berbagai informasi dari pak supir dengan sangat jelas. Mulai dari berapa banyak jumlah fauna di taman safari, apa bedanya unta berpunuk satu dan berpunuk dua, hingga fakta bahwa sebagian besar hidupnya Jerapah dihabiskan dalam posisi berdiri. Saya dan Thina pun semangat menjadi pendengar setia.

 

Thina seneng liat Unta

Wah ada operasi zebra nih. Siapin STNK yah gaes

Liat badak in real form. Biasanya liat di cover larutan doang

Sapi Bali, hewan paling bersih meskipun ga mandi katanya.

 

Jalur kunjungan fauna di taman safari ini terbagi menjadi beberapa zona. Setiap satwa sudah diatur posisi ‘rumah’ nya masing-masing, sehingga dapat hidup berdampingan tanpa ada gesekan. Di beberapa zona kita diperbolehkan untuk berhenti dan memberi makan satwa. Tapi di sejumlah zona lainnya, khususnya hewan-hewan karnivora, kita dilarang untuk membuka jendela sama sekali. Harap diikutin ya, bae-bae dah kalo jadi santapan singa kan ga lucu.

Sementara bis terus melaju, sesekali kami bertukar obrolan dengan pak supir. Dari beliau-lah kami mengetahui perkembangan koleksi satwa disini, bahwa jumlah satwa yang ada senantiasa naik dari tahun ke tahun. Saya memang tidak ingat persis berapa jumlahnya; mungkin 2500-an, tapi mendengar peningkatan jumlah satwa saja sudah berhasil membuat saya menyatakan kekaguman. Bagi saya, itu pertanda bahwa manajemen taman safari tidak hanya ber-orientasi mengumpulkan pundi-pundi uang belaka. Di sisi yang lain, mereka juga punya misi menjaga kelestarian fauna Indonesia. Tiket yang cukup mahal pun terasa wajar-wajar saja.

Saat akan beralih dari zona hewan herbivora ke hewan karnivora, kendaraan kita akan menghadapi sebuah Gerbang yang berukuran besar. Gerbang itu terdiri dari beberapa lapis pintu, yang mana tiap pintunya akan membuka secara otomatis apabila mobil kita mendekatinya.

Tenang saja, tidak akan ada harimau atau singa yang lolos. Pengamanan disini sangat ketat, dimana sejumlah kawat listrik sudah dipasang oleh petugas. Pintu gerbang pun menggunakan sistem magnetik, sehingga hanya bisa terbuka apabila didekati oleh kendaraan empat roda. So, don’t worry, be happy.

Spesies Kudanil Kerdil. Tapi biar begini beratnya ratusan kilo cuy!

 

Setelah melalui jalur kunjungan fauna (yang terlalu panjang untuk kami deskripsikan satu per satu), akhirnya kami pun tiba di Drop Zone. Disinilah seluruh penumpang diturunkan agar dapat melanjutkan eksplorasi ke berbagai area dan fasilitas lainnya. Saya dan Thina pun buru-buru melangkah pergi dan menghampiri sekelebat papan informasi.

Fasilitas di Taman Safari ini luar biasa lengkap. Tak hanya koleksi satwa yang lengkap, mulai dari hewan aquatik, nocturnal, primata, hingga berbagai jenis unggas; ada juga berbagai atraksi pertunjukan yang menarik seperti pertunjukan lumba-lumba, singa laut, serta aksi teatrikal Cowboy Show. Kalau masih belum puas juga, kalian bisa menyambangi berbagai fasilitas dufan mini yang bisa menguji adrenalin kalian.

Yang perlu dicatat, setiap pentas atraksi memiliki jam pertunjukannya masing-masing, dan tiap pentas hanya dilaksanakan maksimal 2 kali dalam sehari. Jadi, perlu perencanaan yang matang serta fisik yang prima untuk dapat mengeksplorasi seluruh fasilitas taman safari ini dengan maksimal.

Sejenak saya menundukkan kepala untuk melirik arloji, nampaklah waktu masih cukup pagi, baru sekitar jam sepuluh. Tapi belajar dari pengalaman kunjungan saya terakhir kali yang kurang memuaskan, maka saya pun berdiskusi serius dengan Thina. Kami menyusun sebuah timeline sederhana tentang kemana tujuan kita setelah ini.

Dan akhirnya kami pun sepakat untuk menuju ke Rumah Panda terlebih dahulu, Cusss…

 

Sambil nunggu kereta datang, kasih makan gajah dulu

 

Untuk bisa sampai ke Istana Panda, kami perlu berjalan sekitar 2 km meninggalkan drop zone. Tak begitu jauh memang, tapi kontur jalan yang menanjak membuat medan perjalanan menjadi terlalu berat untuk dilalui dengan berjalan kaki. Demi menghemat waktu dan tenaga, kami pun memesan tiket kereta dari ruang informasi.

Tiket kereta ini dihargai 25 ribu per orang, dan bisa kita gunakan sepuasnya ke arah mana saja, mau naik maupun turun. Cukup tunjukkan saja gelang berwarna pink itu ke petugas, maka kita bebas melenggang bersama kereta ini. Eittss.. Jangan salah kaprah ya. Kereta ini bukanlah kereta sungguhan selaiknya biasa kita lihat di stasiun Manggarai, melainkan semacam mobil truck yang sudah dimodifikasi agar dapat menampung banyak sekali penumpang ke belakang.

 

Naik ‘kereta’ menuju ke area atas

 

Meski berjalan agak tersendat dan menggerung bagaikan kelelahan, tetapi nyatanya kami tiba juga di area atas. Sementara kami turun di salah satu halte, kereta terus melanjutkan perjalanannya mengelilingi area taman safari ini. Saya dan Thina tak terlalu memperdulikannya, kami bersemangat berjalan ke perhentian shuttle bus menuju Istana Panda yang tak jauh dari halte ini.

Sama seperti kereta, shuttle bus ini juga senantiasa tersedia setiap waktu; setidaknya 15 menit sekali. Tak perlu merogoh kocek tambahan, fasilitas shuttle bus ini gratis sepenuhnya. Desain bis nya juga cukup unik, berbentuk menyerupai wajah Panda apabila dilirik dari arah depan. Bocah-bocah pasti suka nih.

 

Bentuknya unik, ehehe

 

Perjalanan ke Istana Panda tak menghabiskan waktu lama. Paling tidak, hanya berkisar 10 menit saja. Tapi entah mengapa, saya merasa perjalanan tadi itu seakan lama sekali. Mungkin karena pengaruh jalanannya yang menanjak dan ber-kelok ekstrim. Jalanannya juga cukup sempit, sehingga sang supir harus terus berkomunikasi via HT agar tidak berpapasan satu sama lain.

Meski begitu, perjalanan tersebut akan terbayar sudah apabila kita sudah sampai di Istana Panda. Ya, tak hanya disambut oleh desain arsitektur yang megah, kita juga akan disambut oleh hamparan perbukitan hijau yang membahagiakan mata. Terpesona, kami pun larut terdiam disamping pagar kaca, melihat dan menikmati aura kedamaian yang terpancar bersama semilir angin sepoi-sepoi. Padahal, seyogianya kami tak boleh berlama-lama. Masih banyak destinasi lain yang perlu dituju, dan perlu manajemen waktu yang maksimal.

 

Menikmati hamparan perbukitan hijau

Jangan lupa beli roti panda buat kenang kenangan

Sadar tak banyak waktu yang tersedia, kami pun segera melanjutkan langkah kaki menuju ke dalam Istana Panda. Hanya beberapa meter berselang sejak berberak dari pintu masuk, saya langsung dibuat terpana. Tentu saja karena konsep dan perencanaan gedung ini nampak terasa matang, dan terlihat terawat sekali. Berkali-kali saya berucap memuji sambil sesekali membandingkannya dengan manajemen Taman Mini.

Pengunjung tidak bisa langsung berjalan menuju ke kandang panda, melainkan harus berkeliling dulu melewati sejumlah spot edukatif seperti sebuah ruangan dengan layar informasi touchscreen, hingga sebuah teater mini yang memutar film singkat tentang sejarah panda di Taman Safari.



Durasi film tersebut memang cukup singkat, hanya berkisar sepuluh menit saja. Tetapi ada banyak sekali informasi penting saya dapatkan dari dokumentasi itu. Misalnya, Duo panda raksasa remaja yang didatangkan langsung dari Tiongkok itu bernama Cai Tao dan Hu Chun, berjenis kelamin pria dan perempuan. Mereka sudah resmi menjadi penghuni Istana ini sejak September 2017 silam.

Tak cuma mereka berdua saja yang datang. Cai Tao dan Hu Chun turut mengajak teman-teman mereka untuk ikut serta kemari. Salah satunya adalah spesies Red Panda yang tak kalah imutnya dengan giant panda ini. Meskipun bertubuh lebih kecil, tapi warna dan ekspresinya yang imut membuat siapa saja akan gemas dibuatnya.

Kita bisa saja ikut memberi makan si Red Panda ini. Tapi melihat banderol tiket feeding yang mencapai 50 ribu, saya pun segera ambil langkah seribu. Haduuuh, duit segitu mending buat beli makan, gaes :(

Pandanya lagi ngumpet

Ngasih makannya 50 ribu sekali ngasih. Mending aing beli roti πŸ™

Setelah puas mengelilingi seisi Istana Panda ini, kami pun segera kembali ke perhentian shuttle bus lagi; kali ini arahnya menurun. Setibanya di lokasi awal, kami langsung berlari demi mengejar atraksi Lumba-lumba yang tampaknya akan dimulai dalam beberapa menit lagi. Untunglah lokasi pertunjukannya tak begitu jauh, masih terjangkau oleh fisik saya yang bongsor ini πŸ™

Berturut-turut kami pun menikmati pertunjukan demi pertunjukan yang berlangsung berurutan. Setelah menonton pentas lumba-lumba, kami naik sedikit ke atas untuk menonton drame teatrikal Cowboy Show yang dimulai beberapa menit berselang. Kemudian, kami lanjut turun lagi untuk mengejar pertunjukan Sea Lion Show alias singa laut.

Dalam perjalanan ke bawah, kami menyempatkan sejenak untuk mampir ke beberapa spot hewan-hewan seperti primata, reptil dan komodo. Cukup menyenangkan kali ini, karena arah jalanan yang berubah jadi menurun membuat kami tak perlu mengeluarkan banyak tenaga lagi untuk sekedar menggeser kaki.

 

Seru banget nonton pertujukan lumba-lumba

Pake baju JJM biar ketularan jebraw. Eh, malah ketularan gembrotnya doang πŸ™

 

Setiap pertunjukan disini menghabiskan waktu paling tidak setengah jam. Saran saya, manfaatkan waktu disini untuk meng-eksplorasi wahana yang tersedia dengan sebaik-baiknya. Jangan lupa gunakan denah lokasi untuk memudahkan kita dalam merencanakan tujuan kita selanjutnya.

Sebenarnya kami berdua betah dan ingin berlama-lama di area taman safari ini. Namun eksistensi kami tak mampu lagi bertahan lebih lama. Sadar bahwa harus mengendarai motor kembali lagi ke Bekasi, saya pun segera mengajak Thina untuk berjalan ke drop zone, lalu kembali lagi ke parkiran motor.

Thina mengangguk, namun Ia memberi meminta saya untuk menemaninya ke satu destinasi terakhir, yakni rumah hantu. Permintaan itu pun saya setujui, dan kami berdua segera masuk ke dalam Rumah Hantu itu. Sebenarnya tak begitu seram, namun karena cuaca kala itu yang turun gerimis, dan hanya ada kami berdua yang masuk ke wahana itu; suasana menjadi mencekam.

Untunglah, wahana rumah hantu itu hanya menghabiskan waktu sekitar dua menit saja. Segera saya menarik Thina dan menghambur kembali ke parkiran motor.

Dan pada akhirnya, di hari itu.. saya pun baru tiba di rumah pukul sebelas malam….

 

Bekasi, 24 Mei 2019
Ditulis sembari menyelesaikan setrikaan yang tertunda

 

 

Tips menuju taman safari via motor :
– Siapkan sayuran seperti wortel dkk untuk memberi mahan satwa
– Ambil posisi paling depan, karena view nya paling mearik
– Siapkan perbekalan yang banyak, karena makanan disitu mahal-mahal πŸ™
– Bawa peralatan dokumentasi selengkap mungkin
– Atur manajemen waktu agar bisa eksplorasi sepuasnya.

 

Taman Safari Indonesia
Jalan Kapten Harun Kabir No. 724, Cibeureum, Cisarua, Cibeureum, Kec. Cisarua, Bogor, Jawa Barat 16750
www.tamansafari.com