TikTok, Reels, dan Youtube Short Sebaiknya Mulai Kita ‘Haramkan’ Saja

TikTok, Reels, dan Youtube Short Sebaiknya Mulai Kita ‘Haramkan’ Saja

Iya, kalian ga salah baca judul. Saya memang mulai berfikir bahwa perlahan tapi pasti, jika kita tidak bisa membatasi penggunaan ketiga platform tersebut, maka sebaiknya sekalian kita haramkan saja. Khususnya untuk anak-anak dibawah umur, yang seringkali ‘dilepas’ begitu saja tanpa pengawasan dari orang tua.

Bukan sekali dua kali saya menemukan kasus kecanduan gadget pada balita, yang seringnya bikin saya sampai mengelus dada.

Suatu waktu, pernah ada sepupu saya datang berkunjung ke rumah sambil membawa istri dan anaknya. Sebagai tuan rumah, kami tentu menjamunya dan berbincang dengan penuh hangat. Namun saat itu saya mendadak salah fokus sama anaknya. Anaknya yang berumur sekitar tiga tahun, sama sekali tidak mau berbaur dan mengobrol sepatah kata pun. Matanya hanya terus menatap layar smartphone sembari sesekali telunjuk kiri mengusap layar ke atas untuk scroll VT selanjutnya. Dia seakan terbenam dalam dunianya sendiri, tak peduli siapa di sampingnya, dan apa yang dibicarakan.



😐

 

Kasus lainnya yang pernah saya temukan adalah saudara saya yang lain. Ia sejak memang lama sudah terlalu sering dibiarkan menggunakan smartphone tanpa pengawasan dan pembatasan. Umurnya masih dibawah lima tahun, tapi sudah bisa install segala macam games di smartphone. Tangannya juga sudah luwes untuk scroll-scroll video, tapi kali ini beda platform, yakni Youtube Short.

Apa Youtube Short lebih ramah anak dari TikTok? Heleh, podo wae. Malah lebih mengkhawatirkan. Saya ingat betul kala itu sedang bersandar santai di tembok, ketika tiba-tiba sebuah suara Voice Over memecah konsentrasi saya. “Jadi gaes, kita lihat yaa petasan sebesar ini tuh LEDAKAN-nya gede dan seru banget.”. Mata saya langsung memicing ke anak itu, sambil mencoba mencerna apa yang barusan saya dengar. Anak itu men-swipe video itu, namun video selanjutnya tak lebih baik juga. “Oke gaes, kita akan bahas seorang laki-laki yang menggunakan anaknya sebagai TUMBAL PESUGIHAN”.

Saya langsung menghela nafas. Gak habis pikir, kok bisa-bisanya anak seumur itu sudah dapat asupan konsumsi kata-kata semenyeramkan ledakan hingga tumbal pesugihan. Bayangkan, perlahan anaknya mulai belajar hal-hal yang bersifat psikopat, sementara orang tuanya hanya santuy rebahan saja.

Kalo kata Hirotada Radifan, : ‘Apa kabar dunia? Udah gilaaaaaa!”



 

Alogaritma dan Adiksi. Kombinasi yang Berbahaya.

Sebenarnya, hampir semua platform social media di smartphone memang dirancang untuk menciptakan adiksi. Sebuah perasaan dimana kita sangat ingin sekali menggunakan aplikasi tersebut, dan sangat menyebalkan jika mendadak kita dijauhkan. Dari sejak dahulu Facebook isinya cuma tulisan dan gambar, rasa ketagihan untuk membuka aplikasinya itu sudah ada. Namun, saya rasa dulu sih ga begitu parah-parah amat ya. Masih cukup mudah untuk dikendalikan.

Baca Juga :  Pengalaman Perdana Menitipkan Anak Ke Daycare Kesayangan

Nah, sekarang ini nih. Semenjak internet makin ngacir, smartphone makin canggih dan terjangkau, serta pertumbuhan pengguna internet di Indonesia makin tinggi. Saya merasa bahwa platform social media perlahan mulai membawa ancaman malapetaka bagi kita semua.

Semuanya dimulai ketika TikTok mulai booming. Meski awalnya jadi ‘markas’ bagi video-video pendek nan alay, namun siapa sangka, sekarang justru TikTok jadi ancaman serius bagi raksasa seperti Instagram, Facebook dan Youtube. Tak mau kalah, kedua perusahaan tersebut pun meluncurkan fitur serupa. Facebook  dan Instagram dengan Reels-nya, serta Youtube dengan Youtube Shortsnya.

Berbeda dengan video-video berdurasi panjang (10 menit ke atas), dimana kita harus menyediakan waktu khusu serta menjaga fokus demi bisa mencerna. Video-video berdurasi pendek (sekitar 30 detik s/d 1.5 menit) cenderung on point dan mudah dicerna dalam waktu singkat. Jika dikawinkan dengan alogaritma super canggih dalam tiap swipe-nya; yang bisa memilah konten sesuai karakter, minat, dan kesukaan kita; bisa memicu pelepasan dopamin dalam jumlah besar di dalam kepala kita.

Dopamin adalah salah satu neurotransmitter atau zat kimia yang terdapat dalam sistem saraf pusat manusia. Dopamin berfungsi sebagai pengirim sinyal atau informasi antara neuron-neuron di otak, dan memainkan peran penting dalam mengatur berbagai fungsi seperti motivasi, penghargaan, emosi, dan gerakan. Dopamin juga sering dikaitkan dengan perasaan senang dan kecanduan karena meningkatkan aktivitas area otak yang terkait dengan pengalaman positif.  Semakin banyak dopamin yang kita terima, semakin kita mendambakan dan adiksi pun muncul.

Adiksi dari kumpulan video pendek ini bisa berdampak negatif pada rentang perhatian, kesehatan mental, dan kinerja otak pengguna dalam penggunaan jangka panjang.

Pernah ga kalian iseng-iseng buka Reels atau TikTok, lalu mendadak lost control aja gitu. Kalian larut dan tenggelam dalam setiap swipe dan video random yang muncul. Hingga ketika sadar, barulah ngeuh kalo waktu sebanyak satu jam sudah lewat begitu saja tanpa terasa. Akhirnya kalian pun mulai merasa gundah, merasa tidak produktif karena waktu sepanjang itu sudah terbuang sia-sia. Dilema.

Hayoo siapa yang pernah gitu?

Saya mah sering bangeeet, hahaha. Silahkan direnungkan, kita orang-orang dewasa aja bisa kena dampaknya. Apalagi anak-anak dibawah umur coba..

 



Beberapa Bahaya yang Mengintai Anak Balita

  1. Konten tidak pantas : Alogaritma social media seringkali berfokus pada konten sesuai minat dan kecocokan, namun belum tentu efektif memfilter konten yang tidak pantas bagi anak kecil. Video yang berisi kata-kata kasar, konten yang bersifat vulgar, serta berpengaruh buruk dapat muncul dalam timeline  yang diakses anak. Balita tentu belum dapat memahami atau memproses konten semacam itu dengan benar, dan ini dapat memengaruhi perkembangan mental dan emosional mereka.
  2. Konten dewasa yang menjelma seperti tontonan anak : Kartun = tontonan anak, adalah persepsi yang sangat salah. Ada banyak sekali kartun yang sebenarnya ditujukan untuk orang dewasa, dan berbahaya jika ditonton anak-anak. Sebut saja Poppy Play Time, Rainbow Friend, serta Happy Tree Friend. Khusus yang disebut terakhir, itu berbahaya banget karena isinya gore dan penuh kekerasan.
  3. Menyebabkan kecanduan : Seperti yang saya jelaskan di atas, alogaritma social media dirancang agar penggunanya menghabiskan waktu selama mungkin di platform masing-masing. Ini bisa menyebabkan kecanduan akut dan dapat mengganggu rutinitas harian balita seperti waktu bermain, tidur, dan makan.
  4. Masalah perkembangan kognitif : Balita yang terlalu sering terpapar teknologi bisa mengalami perlambatan dalam kemampuan bicara, interaksi sosial, dan kemampuan motorik. Terlalu banyak waktu yang dihabiskan di layar juga dapat menyebabkan penurunan kualitas tidur dan kesulitan berkonsentrasi.
  5. Masalah perkembangan sosial : Balita membutuhkan interaksi fisik dengan orang dewasa dan anak-anak sebaya untuk membantu perkembangan sosial dan emosional. Jika terlalu banyak waktu dihabiskan di layar, interaksi sosial bisa berkurang drastis dan dapat mempengaruhi kemampuan bersosialisasinya.
Baca Juga :  Pengalaman Perdana Menitipkan Anak Ke Daycare Kesayangan



Beberapa Tips Menjaga Anak Bahaya Platform Short Video

  1. Batasi screen time : American Academy of Pediatrics merekomendasikan penggunaan gadget harian tidak lebih dari satu jam untuk anak-anak usia 2-5 tahun dan tidak lebih dari dua jam untuk anak-anak usia 6 tahun ke atas.
  2. Pantau dengan serius : Awasi terus konten apa yang diakses oleh anak, pastikan yang ditonton sudah sesuai untuk usia mereka.
  3. Ajak aktivitas lain yang menyenangkan : Berikan alternatif kegiatan yang lebih produktif dan menyenangkan, seperti membaca buku, bermain di luar rumah, atau berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.
  4. Jadwalkan waktu bersama keluarga : Atur quality time dalam jadwal sehari-hari, seperti bermain atau makan bersama, agar interaksi bersama keluarga lebih baik dan hubungan jadi lebih harmonis
  5. Jadilah role model perilaku yang baik : Kita sebagai orang tua juga harus jadi contoh yang baik untuk anak. Kalau bisa, sebisa mungkin kurangi penggunaan gadget di depan anak. Serta jangan biasakan juga memberikan gadget tanpa pengawasan kepada anak dibawah umur. Ingat, lebih baik repot sekarang, daripada lebih besar dampaknya di masa depan. Jadi orang tua jangan mau cari gampangnya doang ya…

 

Duh, tapi anakku udah kadung kecanduan maen gadget sama nonton short video mulu, gimana dong ya?

Ya sudah, segera jauhkan smartphone dari jangkauan anaknya sekarang juga. Anak tantrum? nangis-nangis? marah-marah seharian? Ya mau gimana lagi. Itu udah resiko yang harus kita tanggung karena selama ini kita terlalu membebaskan anak dengan gadget.

Pokoknya, lebih baik kita kerepotan sekarang, daripada anak kita jadi minim moral dan attitude ke depannya.

Dan tentu saja…

Kalau kita sudah tidak bisa membatasi atau mengurangi TikTok, Reels, dan Short untuk anak kita. Maka sebaiknya sekalian haramkan saja!

 

 

Merasa tulisan ini bermanfaat? yuk sawerin duit biar saya bisa beli kopi yang banyak & nyicil rumah KPR.

Nih buat jajan

 

Depok, 1 Mei 2023
Ditulis sembari melihat anak berguling-guling

 

 

Fajarwalker

A Man with frugal style living. Sering dikira pelit, padahal cuma males keluar duit.

More Reading

Post navigation

20 Comments

  • Aku yang udah gedhe saja suka keterusan kalau sudah nonton Tiktok dan Reels. Apa lagi bocah ya. Serem sih emang pengaruhnya.

  • Anakku masih nonton youtube tapi kuakali jadi pakenya youtube kids yang relatif lebih aman. Eh atapi emang ortunya kudu perhatian dengan belikan mainan edukatif seperti playdough atau lego, biar ada kegiatan dan anak2 ga main hp terus. Soalnya kalo udah adiksi HP bisa speech delay. bahaya

  • Benar bnget, 3 aps ini lebih baik diharamkan sih. Jujur anak2 memang lebih tertarik liat konten2 hiburan seperti ini, tapi tak jarang banyak konten yang gk baik dikonsumsi buat mereka. Jadinya lebih bagus gak diberikan ke mereka, tujuannya jga buat kebaikan mereka jga

  • Kalau untuk mengharamkan kayaknya terlalu jauh ya, karena dalam sebuah kemajuan teknologi pasti ada plus minusnya, daripada memotong dan memberangus semuanya, kenapa tidak melakukan batasan dan kontrol penggunaannnya? Dan, dalam hal ini, untuk pengawasan dan kontrol anak dalam penggunaan gadget adalah orang tua dan keluarga. Karena anak biasanya mencontoh dengan apa yang dilakukan orang tua dan orang2 terdekatnya.

    Jadi alangkah baiknya dikontrol dan diawasi saja, dan tentu ada penerapan aturan yg tegas apabila melanggarnya.

    • Iya mas, selagi masih bisa dikontrol, ya dikontrol. Tapi kalo kontrolnya udah ga jalan, dan mulai diluar kendali, mengharamkan sepertinya wajib sebelum semuanya makin runyam

  • Memang untuk mengatasi anaknya adiksi gadget, orangtuanya kudu beneran HARAM juga dengan hal-hal tersebut.
    Kalau orangtuanya masih hidup di dunianya sendiri, gimana anak bisa beraktivitas menyenangkan dan bergaul dengan manusia?
    Orang manusia di sekitarnya tidak membuatnya lebih bahagia seperti ketika ia bergaul dengan TikTok, Reels, dan Short.

    Semacam dimana ada sebab, pasti menuai akibat.

  • Dunia yang sudah terpapar gadget dan kecanduan serius memang mengerikan. Apalagi ini sudah menyangkut anak balita. Ketiga keponakan yang usianya imut juga udah ngga bisa lepas dari gadget.

    Kalau anak anakku karena udah besar jadi masih bisa memilah kepentingan sekolah ya dan mereka kuarahkan kecanduan olahraga… Habis gimana, aku juga takut mereka ga bisa pisah dari gawai!

    • Aku juga rencananya gitu sih, pengen banyakin aktivitas outdoor sama olahraga. Semacem badminton

  • penonton channelnya hirotada radifan juga yah ternyata hehehe. aku setuju sama poin membatasi screen time pada anak dan lebih baik membiasakan sejak dini untuk fokus ke hal-hal di luar gadget. memang ga mudah di tengah gempuran kanan kiri pada megang hp semua, apalagi orang tua juga ga mungkin ga megang hp karena komunikasi pekerjaan kebanyakan melalui smartphone. kayanya perlu ada sosialisasi terkait hal ini.

    • Tontonan kita mah kalo ga hirotada ya nadia omara, hahaha
      Iya, dilema kadang tuh ya. Pengen nyontohin tapi kitanya maen gadget mulu

  • Anak saya yang kakak tuh paling sering liat YouTube Short, sebel sih, tapi kadang saya nggak bisa lama-lama nemanin dia liat HP. Emang tantangan banget sih masalah tontonan video pendek zaman now 🙁

  • Saya setuju dengan semua tipsnya. Karena saya pun melakukan semua tips itu ke anak-anak.

    Memang beberapa orangtua menganggap internet adalah penyelamat. Beralasan kalau dikasih hp, anak jadi lebih tenang. Padahal sebetulnya untuk jangka panjang dampaknya gak baik untuk anak.

    Banyak juga yang menganggap sulit melepaskan anak dari hp. Padahal penyebabnya karena anak tidak diberi aktivitas menyenangkan. Sekadar memberi banyak mainan belum tentu cukup. Dan, aktivitas menyenangkan setiap anak bisa berbeda-beda.

    Misalnya kayak anak-anak saya kurang tertarik main lego. Ya udah, saya cari aktivitas lain yang bikin mereka senang dan bisa lepas dari hp. Orangtua memang juga perlu terlibat. sesekali bermain bersama anak.

    • Nah itu yang sulitnya sih, kadang karena kita orangtua sibuk juga. Pas ketemu anak jadinya ga kreatif.
      Padahal, ya mestinya bisa lebih banyak ide untuk aktivitas anak.

  • Setuju mas. Pusiiing aku pun liat konten di YT, tiktok dkk itu ke anak2. Untungnya anak2 walo akh KSH pegang gadget, tapi aku Batasin hanya bisa weekend. Hari sekolah ga boleh. Itu juga alasan kenapa aku resign dari kantor, dan anak2 lebih sering aku ajak traveling atau staycation supaya mereka bisa lupa gadget.

    Soalnya susah juga kalo dibatasin, tapi ga dikasih alternatif lain buat hiburan. Kasian merekanya.

    Beberapa konten YT nih yg banyak aku larang jadinya. Mulai dari Kata2 kasar lah, trus ceritanya ttg 17++. Duh, kadang kepikiran, aku mampu ga ya mendidik mereka di tengah gempuran konten ga jelas begini. Krn aku pun ga bisa kontrol 24 jam.

    • Itulah yang jadi dilema juga kak. Aku pengen anakku ga megang hape, tp di sisi lain aku kerjaannya di hape sama laptop terus.
      Yang namanya anak kan pasti liat orang tuanya ya. Haduuuh, syulit

  • Setuju tapi memang sulit karena pengaruh lingkungan juga. Contoh seorang anak yg dibatasi gadgetnya jadi terkucil dlm pergaulan dg teman2 yg bergadget. Dan teman bergadget biasanya jadi mayoritas apalagi sejak pandemi. Kecuali menemukan lingkungan yg para ortunya sepaketan sepakat no gadget. Ujung2 ya harus kasih contoh mengingatkan dan banyak2 diskusi serta kasih kegiatan menarik. Pertanyaannya : ortu jaman sekarang punya waktu utk itu gak?

    • Itulah memang dilemanya untuk zaman sekarang tuh. Demi kejar pendapatan, akhirnya Ayah Ibu kerja semua. Sementara anak akhirnya ga begitu terawasi.
      Aku juga sebisa mungkin mantau terus anakku sih. yah… kalo cuma nonton tipi sesekali mah gapapa. Tapi kalo sampe dicekokin gadget terus-terusan, haduh BIG NO Banget.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *